Senin, 16 Maret 2020

Isi pokok UU Bagi Hasil


UU ini relatif pendek, hanya 17 Pasal diundangkan 7 Januari 1960 yang ditandatangani oleh presiden Soekarno. Tujuaan UU ini adalah agar pembagian hasil antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar yang adil dan agar terjamin pula kedudukan hukum yang
layak bagi para penggarap.  

Perjanjian bagi-hasil, ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu fihak dan seseorang atau badan hukum pada lain fihak - yang dalam undang-undang ini disebut "penggarap" - berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah fihak.

Petani, ialah orang, baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai tanah yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian. (Makna “petani” disini jauh lebih luas, mencakup penggarap dan bahkan buruh tani tanpa tanah)

Penggarap adalah “orang-orang tani” (perhatikan istilah nya !!) yang tanah garapannya, baik kepunyaannya sendiri maupun yang diperolehnya secara, menyewa, dengan perjanjian bagi-hasil ataupun secara lainnya, tidak akan lebih dari sekitar 3 (tiga) hektar. Jika lebih dari 3 ha perlu izin khusus, dan badan hukum juga tidak boleh menggunakan skema bagi hasil.

Beberapa persyaratan yang penting, misalnya semua perjanjian bagi-hasil harus dibuat secara tertulis dihadapkan Kepala Desa perlu pengesahan Camat, dan diumumkan di desa. Lama perjanjian untuk sawah sekurang-kurangnya tiga tahun dan bagi tanah-kering sekurang-kurangnya lima tahun. Ini untuk memberi kepastian usaha kepada penggarap.

Tentang besaran bagi hasil, Pasal 7 ditetapkan di tiap kabupaten/kota oleh kepala daerah dengan memperhatikan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi dan faktor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat. Ada pula beberapa larangan, misalnya memberi uang atau benda apapun kepada pemilik sebagai sogokan, memberi ke penggarap dengan niat ijon.

Bersamaan dengan UU bagi hasil pertanian, ada pasangannya di perikanan yakni Undang-Undang Pokok Bagi Hasil Perikanan (UUPBH Perikanan) nomor 16 tahun 1964. UU ini sangat bagus demi membela buruh nelayan yang konon sering diperas juragan pemilik perahu. Nasibnya setali tiga uang, sama-sama tidak diterapkan.

Tentang pola pembagian, Pasal 7 menyatakan besarnya bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap daerah Swatantra Tingkat II ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Swatantra Tingkat II yang bersangkutan, dengan memperhatikan jenis tanah, keadaan tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi, dan faktor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat.


Pedoman pembagian yang berlaku untuk padi di sawah dengan perbandingan 1:1 (satu banding satu). Sedangkan untuk tanaman palawija di sawah serta tanaman di tanah kering, penggarap mendapatkan 2/3 bagian sedangkan pemilik mendapatkan 1/3 bagian. Lalu, jika terjadi gagal panen, maka resiko ditanggung bersama. Artinya, pembagian hasil atau kerugiannya juga ditanggung bersama.


*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar