UU ini relatif pendek, hanya 17 Pasal diundangkan 7 Januari 1960
yang ditandatangani oleh presiden Soekarno. Tujuaan UU ini adalah agar pembagian hasil antara pemilik dan penggarap dilakukan atas
dasar yang adil dan agar terjamin pula kedudukan hukum yang
layak bagi para penggarap.
Perjanjian bagi-hasil, ialah perjanjian dengan nama apapun juga
yang diadakan antara pemilik pada satu fihak dan seseorang atau badan hukum pada
lain fihak - yang dalam undang-undang ini disebut "penggarap" - berdasarkan
perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah
pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah fihak.
Petani, ialah orang, baik yang mempunyai
maupun tidak mempunyai tanah yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan
tanah untuk pertanian. (Makna “petani” disini jauh lebih luas,
mencakup penggarap
dan bahkan buruh tani tanpa tanah)
Penggarap adalah “orang-orang tani” (perhatikan istilah nya !!) yang tanah garapannya, baik kepunyaannya
sendiri maupun yang diperolehnya secara, menyewa, dengan perjanjian
bagi-hasil ataupun secara lainnya, tidak akan lebih dari sekitar 3 (tiga)
hektar. Jika lebih dari 3 ha perlu izin khusus, dan badan hukum juga tidak
boleh menggunakan skema bagi hasil.
Beberapa persyaratan yang penting, misalnya semua perjanjian bagi-hasil harus dibuat secara tertulis
dihadapkan Kepala Desa perlu pengesahan Camat, dan diumumkan di desa. Lama
perjanjian untuk sawah sekurang-kurangnya tiga tahun dan bagi tanah-kering
sekurang-kurangnya lima tahun. Ini untuk memberi kepastian usaha kepada
penggarap.
Tentang besaran bagi hasil, Pasal 7 ditetapkan di tiap
kabupaten/kota oleh kepala daerah dengan memperhatikan jenis tanaman, keadaan
tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi dan
faktor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat. Ada pula beberapa larangan, misalnya memberi uang
atau benda apapun kepada pemilik sebagai sogokan, memberi ke penggarap dengan
niat ijon.
Bersamaan dengan UU bagi hasil pertanian, ada pasangannya di
perikanan yakni Undang-Undang Pokok Bagi Hasil Perikanan (UUPBH Perikanan)
nomor 16 tahun 1964. UU ini sangat bagus demi membela buruh nelayan yang konon
sering diperas juragan pemilik perahu. Nasibnya setali tiga uang, sama-sama
tidak diterapkan.
Tentang pola pembagian, Pasal 7 menyatakan besarnya bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap daerah Swatantra Tingkat II ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Swatantra Tingkat II yang bersangkutan, dengan memperhatikan jenis tanah, keadaan tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi, dan faktor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat.
Tentang pola pembagian, Pasal 7 menyatakan besarnya bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap daerah Swatantra Tingkat II ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Swatantra Tingkat II yang bersangkutan, dengan memperhatikan jenis tanah, keadaan tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi, dan faktor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat.
Pedoman
pembagian yang berlaku untuk padi di sawah dengan perbandingan
1:1 (satu banding satu). Sedangkan untuk
tanaman palawija di sawah serta tanaman di tanah kering, penggarap mendapatkan
2/3 bagian sedangkan pemilik mendapatkan 1/3 bagian. Lalu, jika terjadi gagal
panen, maka resiko ditanggung bersama. Artinya, pembagian
hasil atau kerugiannya juga ditanggung bersama.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar