Sabtu, 28 Maret 2020

Rancangan Undang-Undang CIPTA KERJA (Omnibus Lawa) khusus bidang pertanian

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN ….
TENTANG
CIPTA KERJA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Pasal 30

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) diubah:

1. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14
(1) Pemerintah Pusat menetapkan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan lahan untuk Usaha Perkebunan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan batasan luas diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2. Ketentuan Pasal 15 dihapus.
3. Ketentuan Pasal 16 dihapus.

4. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17
(1) Pejabat yang berwenang dilarang menerbitkan Perizinan Berusaha Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
(2) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal telah dicapai persetujuan antara Masyarakat Hukum Adat dan Pelaku Usaha Perkebunan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).

5. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18
(1) Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

6. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24
(1) Pemerintah Pusat menetapkan jenis Benih Tanaman Perkebunan yang pengeluaran dari dan/atau pemasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memerlukan persetujuan.
(2) Pengeluaran Benih dari dan/atau pemasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(3) Pemasukan Benih dari luar negeri harus memenuhi standar mutu atau persyaratan teknis minimal.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu dan persyaratan teknis minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

7. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30
(1) Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu harus dilepas oleh Pemerintah Pusat atau diluncurkan oleh pemilik varietas.
(2) Varietas yang telah dilepas atau diluncurkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diproduksi dan diedarkan.
(3) Varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum diedarkan harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata cara pelepasan atau peluncuran serta Perizinan Berusaha diatur dengan Peraturan Pemerintah.

8. Ketentuan Pasal 31 dihapus.

9. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35
(1) Dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tumbuhan, setiap Pelaku Usaha Perkebunan berkewajiban memenuhi persyaratan minimum sarana dan prasarana pengendalian organisme pengganggu Tanaman Perkebunan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan minimum sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

10. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39
Pelaku Usaha Perkebunan dapat melakukan Usaha Perkebunan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

11. Ketentuan Pasal 40 dihapus.

12. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42
(1) Kegiatan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan memenuhi Perizinan Berusaha terkait Perkebunan dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

13. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43
Kegiatan usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dapat didirikan pada wilayah Perkebunan swadaya masyarakat yang belum ada usaha Pengolahan Hasil Perkebunan setelah memperoleh hak atas tanah dan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

14. Ketentuan Pasal 45 dihapus.

15. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47
(1) Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

16. Ketentuan Pasal 48 dihapus.
17. Ketentuan Pasal 49 dihapus.
18. Ketentuan Pasal 50 dihapus.

19. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 58
(1) Perusahaan Perkebunan yang melakukan kegiatan usaha perkebunan dan kegiatan usaha perkebunan budi daya wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat.
(2) Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pola kredit, bagi hasil, bentuk kemitraan lainnya atau bentuk pendanaan lain yang disepakati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak hak guna usaha diberikan.
(4) Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Pemerintah Pusat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

20. Ketentuan Pasal 59 dihapus.

21. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 60
(1) Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

22. Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 64
Pelaku Usaha Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dikenai sanksi administratif.

23. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 67
(1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban memelihara kelestarian diatur dengan Peraturan Pemerintah.

24. Ketentuan Pasal 68 dihapus.

25. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 70
(1) Setiap Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

26. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 74
(1) Setiap unit Pengolahan Hasil Perkebunan tertentu yang berbahan baku impor wajib membangun kebun dalam jangka waktu tertentu setelah unit pengolahannya beroperasi.
(2) Ketentuan mengenai jenis Pengolahan Hasil Perkebunan tertentu dan jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

27. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 75
(1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah

28. Ketentuan Pasal 86 dihapus.

29. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 93
(1) Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara.
(2) Pembiayaan penyelenggaraan Perkebunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.
(3) Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Pelaku Usaha Perkebunan bersumber dari penghimpunan dana Pelaku Usaha Perkebunan, dana lembaga pembiayaan, dana masyarakat, dan dana lain yang sah.

(4) Penghimpunan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi Perkebunan, peremajaan Tanaman Perkebunan, sarana dan prasarana Perkebunan, pengembangan perkebunan, dan/atau pemenuhan hasil Perkebunan untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati, dan hilirisasi Industri Perkebunan.
(5) Dana yang dihimpun oleh pelaku usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikelola oleh badan pengelola dana perkebunan, yang berwenang untuk menghimpun, mengadministrasikan, mengelola, menyimpan, dan menyalurkan dana tersebut.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghimpunan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan badan pengelola dana perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

30. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 95
(1) Pemerintah Pusat mengembangkan Usaha Perkebunan melalui penanaman modal.
(2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

31. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 96
(1) Pembinaan Usaha Perkebunan dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perencanaan;
b. pelaksanaan Usaha Perkebunan;
c. pengolahan dan pemasaran Hasil Perkebunan;
d. penelitian dan pengembangan;
e. pengembangan sumber daya manusia;
f. pembiayaaan Usaha Perkebunan; dan
g. pemberian rekomendasi penanaman modal.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

32. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 97
(1) Pembinaan teknis untuk Perusahaan Perkebunan milik negara, swasta dan/atau Pekebun dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Evaluasi atas kinerja Perusahaan Perkebunan milik negara dan/atau swasta dilaksanakan melalui penilaian Usaha Perkebunan secara rutin dan/atau sewaktu-waktu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan teknis dan penilaian Usaha Perkebunan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

33. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 99
(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dilakukan melalui:
a. pelaporan dari Pelaku Usaha Perkebunan; dan/atau
b. pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil Usaha Perkebunan.
(2) Dalam hal tertentu pengawasan dapat dilakukan melalui pemeriksaan terhadap proses dan Hasil Perkebunan.
(3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan informasi publik yang diumumkan dan dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian laporan dengan pelaksanaan di lapangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

34. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 102
(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang perkebunan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana.
(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana;
f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana;
j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana;
l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku.

(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum.

35. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 103
Setiap pejabat yang menerbitkan Perizinan Berusaha terkait Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 154

36. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 105
(1) Setiap Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

37. Ketentuan Pasal 109 dihapus.

Pasal 31

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043) diubah:

1. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11
(1) Permohonan hak PVT diajukan kepada Kantor PVT secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan membayar biaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2) Dalam hal permohonan hak PVT diajukan oleh:
a. orang atau badan hukum selaku kuasa pemohon harus disertai surat kuasa khusus dengan mencantumkan nama dan alamat lengkap kuasa yang berhak;
b. ahli waris harus disertai dokumen bukti ahli waris.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan hak PVT diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29
(1) Permohonan pemeriksaan substantif atas permohonan hak PVT harus diajukan ke Kantor PVT secara tertulis selambat-lambatnya satu bulan setelah berakhirnya masa pengumuman dengan membayar biaya pemeriksaan tersebut
(2) Besarnya biaya pemeriksaan substantif ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

3. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40
(1) Hak PVT dapat beralih atau dialihkan karena:
a. pewarisan;
b. hibah;
c. wasiat;
d. perjanjian dalam bentuk akta notaris; atau
e. sebab lain yang dibenarkan oleh undang-undang.
(2) Pengalihan hak PVT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir a, b, dan c harus disertai dengan dokumen PVT berikut hak lain yang berkaitan dengan itu.

(3) Setiap pengalihan hak PVT wajib dicatatkan pada Kantor PVT dan dicatat dalam Daftar Umum PVT dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengalihan hak PVT diatur dengan Peraturan Pemerintah.

4. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43
(1) Perjanjian lisensi harus dicatatkan pada Kantor PVT dan dimuat dalam Daftar Umum PVT dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2) Dalam hal perjanjian lisensi tidak dicatatkan di Kantor PVT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka perjanjian lisensi tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

5. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 63
(1) Untuk kelangsungan berlakunya hak PVT, pemegang hak PVT wajib membayar biaya tahunan.
(2) Untuk setiap pengajuan permohonan hak PVT, permintaan pemeriksaan, petikan Daftar Umum PVT, salinan surat PVT, salinan dokumen PVT, pencatatan pengalihan hak PVT, pencatatan surat perjanjian lisensi, pencatatan Lisensi Wajib, serta lain-lainnya
yang ditentukan berdasarkan undang-undang ini wajib membayar biaya.

(3) Ketentuan mengenai besar biaya, persyaratan dan tata cara pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Pasal 32

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 241, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043) diubah:

1. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19
(1) Setiap Orang dilarang mengalihfungsikan Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan budi daya Pertanian.
(2) Dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional, Lahan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Alih fungsi Lahan budi daya Pertanian untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilaksanakan pada Lahan Pertanian yang telah memiliki jaringan pengairan lengkap wajib menjaga fungsi jaringan pengairan lengkap.

2. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32
(1) Pengadaan Benih unggul melalui pemasukan dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dilakukan setelah mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Pengeluaran Benih unggul dari wilayah Negara Republik Indonesia dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Dalam hal pemasukan dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengeluaran Benih unggul dari wilayah Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh instansi pemerintah, harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dnaniatur dengan Peraturan Pemerintah.

3. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43
Pengeluaran Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan dari wilayah Negara Republik Indonesia oleh Setiap Orang dapat dilakukan jika keperluan dalam negeri telah terpenuhi setelah mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

4. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44
(1) Pemasukan Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan dari luar negeri dapat dilakukan untuk:
a. meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
b. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan/atau
c. memenuhi keperluan di dalam negeri.
(2) Pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan.
(3) Setiap Orang yang melakukan pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(4) Dalam hal pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah, harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.

5. Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 86
(1) Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) yang melakukan Usaha Budi Daya Pertanian di atas skala tertentu wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Pemerintah Pusat dilarang memberikan Perizinan Berusaha terkait Usaha Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas tanah hak ulayat masyarakat hukum adat.
(3) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan dalam hal telah dicapai persetujuan antara masyarakat hukum adat dan Pelaku Usaha.

6. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 102
(1) Sistem informasi Pertanian mencakup pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan.
(2) Pemerintah Pusat berkewajiban membangun, menyusun, dan mengembangkan sistem informasi Pertanian yang terintegrasi.
(3) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit digunakan untuk keperluan:
a. perencanaan
b. pemantauan dan evaluasi;
c. pengelolaan pasokan dan permintaan produk Pertanian; dan
d. pertimbangan penanaman modal.
(4) Kewajiban Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh pusat data dan informasi.
(5) Pusat data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berkewajiban melakukan pemutakhiran data dan informasi Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan secara akurat dan dapat diakses oleh masyarakat.
(6) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh Pelaku Usaha dan masyarakat.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

7. Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 107
(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di Lingkungan Instansi Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang sistem budi daya pertanian berkelanjutan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana.

(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana;
f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana;
j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana;
l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku.

(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum.

8. Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 108
(1) Sanksi administratif dikenakan kepada:
a. Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), Pasal 28 ayat (3), Pasal 43, Pasal 44 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 66 ayat (2), Pasal 7l ayat (3), Pasal 76 ayat (3), dan Pasal 79;
b. Pelaku Usaha dan/atau instansi pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 32 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3); dan
c. Produsen dan/atau distributor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1).

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

9. Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 111
(1) Pelaku Usaha yang menggunakan Lahan hak ulayat yang tidak melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dikenakan sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 33

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5433) diubah:

1. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15
(1) Pemerintah Pusat melakukan upaya peningkatan produksi pertanian dalam negeri.
(2) Peningkatan produksi pertanian dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui strategi perlindungan petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).

2. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30
(1) Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan melalui impor.
(2) Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

3. Ketentuan Pasal 101 dihapus.

Pasal 34

Beberapa ketentuan dalam Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5170) diubah:

1. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15
(1) Pelaku Usaha di bidang Hortikultura dapat memanfaatkan sumber daya manusia dalam negeri dan luar negeri.
(2) Pemanfaatan Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33
(1) Sarana hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 berasal dari dalam negeri dan/atau luar negeri.
(2) Sarana hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diedarkan, harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

(3) Dalam hal sarana hortikultura merupakan atau mengandung hasil rekayasa genetik, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), peredarannya wajib mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keamanan hayati.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait sarana hortikultura diatur dengan Peraturan Pemerintah.

3. Ketentuan Pasal 35 dihapus.

4. Ketentuan Pasal 48 dihapus.

5. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 49
(1) Unit usaha budi daya hortikultura mikro dan kecil wajib didata oleh Pemerintah.
(2) Unit usaha budi daya hortikultura menengah dan unit usaha budi daya hortikultura besar harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

6. Ketentuan Pasal 51 dihapus.

7. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 52
(1) Usaha hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

8. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 54
(1) Pelaku usaha dalam melaksanakan usaha hortikultura wajib memenuhi standar proses atau persyaratan teknis minimal.
(2) Pelaku usaha dalam memproduksi produk hortikultura wajib memenuhi standar mutu dan keamanan pangan produk hortikultura.
(3) Pemerintah Pusat membina dan memfasilitasi pengembangan usaha hortikultura untuk memenuhi standar mutu dan keamanan pangan produk.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu dan keamanan pangan produk hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

9. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 56
(1) Usaha hortikultura dapat dilakukan dengan pola kemitraan.
(2) Pola kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan pelaku usaha hortikultura mikro, kecil, menengah, dan besar.
(3) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan pola:
a. inti-plasma;
b. subkontrak;
c. waralaba;
d. perdagangan umum;
e. distribusi dan keagenan; dan
f. bentuk kemitraan lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

10. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 57
(1) Usaha perbenihan meliputi pemuliaan, produksi Benih, sertifikasi, peredaran Benih, serta pengeluaran Benih dari dan pemasukan Benih ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
(2) Dalam hal pemuliaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan introduksi dalam bentuk Benih atau materi induk yang belum ada di wilayah Negara Republik Indonesia.
(3) Usaha perbenihan hanya dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki sertifikat kompetensi atau badan usaha yang bersertifikat dalam bidang perbenihan dengan wajib menerapkan jaminan mutu Benih melalui penerapan sertifikasi.

(4) Ketentuan sertifikat kompetensi atau badan usaha yang bersertifikat dan kewajiban menerapkan jaminan mutu Benih sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikecualikan bagi pelaku usaha perseorangan atau kelompok yang melakukan usaha perbenihan untuk dipergunakan sendiri dan/atau terbatas dalam 1 (satu) kelompok.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai produksi Benih, sertifikasi, peredaran Benih, serta pengeluaran dan pemasukan Benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), introduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sertifikasi kompetensi, sertifikasi badan usaha dan jaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), serta pengecualian kewajiban penerapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

11. Ketentuan Pasal 63 dihapus.

12. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 68
Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha budi daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, tata cara pendataan dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, serta persetujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

13. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 73
(1) Usaha perdagangan produk hortikultura mengatur proses jual beli antarpedagang dan antara pedagang dengan konsumen.
(2) Pelaku usaha perdagangan produk hortikultura harus menerapkan sistem pengkelasan produk berdasarkan standar mutu dan standar harga secara transparan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban sistem pengkelasan produk berdasarkan standar mutu dan standar harga secara transparan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

14. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 88
(1) Impor produk hortikultura memperhatikan aspek:
a. keamanan pangan produk hortikultura;
b. persyaratan kemasan dan pelabelan;
c. standar mutu; dan
d. ketentuan keamanan dan perlindungan terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan.
(2) Impor produk hortikultura dapat dilakukan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Impor produk hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pintu masuk yang ditetapkan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

15. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 90
Pemerintah Pusat dalam meningkatkan pemasaran hortikultura memberikan informasi pasar.

16. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 92
(1) Penyelenggara pasar dan tempat lain untuk perdagangan produk hortikultura dapat menyelenggarakan penjualan produk hortikultura lokal dan asal impor.
(2) Penyelenggara pasar dan tempat lain untuk perdagangan produk hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menyediakan fasilitas pemasaran yang memadai.

17. Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 100
(1) Pemerintah Pusat mendorong penanaman modal dalam usaha hortikultura.
(2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

18. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 101
Pelaku usaha hortikultura menengah dan besar wajib memberikan kesempatan pemagangan.

19. Ketentuan Pasal 122 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 122
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 37, Pasal 38, Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 56 ayat (3), Pasal 60 ayat (2), Pasal 71, Pasal 73 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 81 ayat (4), Pasal 84 ayat (1), Pasal 88 ayat (1), Pasal 92 ayat (2), Pasal 101, Pasal 108 ayat (2), atau Pasal 109 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

20. Ketentuan Pasal 123 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 123
(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang hortikultura diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana.
(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana;
f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana;
j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana;
l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku.

(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum.

21. Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 126
(1) Setiap orang yang mengedarkan sarana hortikultura yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan rusaknya fungsi lingkungan atau membahayakan nyawa orang, maka pelaku dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

22. Ketentuan Pasal 131 dihapus.

Pasal 35

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5619) diubah:

1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6
(1) Lahan yang telah ditetapkan sebagai kawasan penggembalaan umum harus dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara berkelanjutan.
(2) Kawasan penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai:
a. penghasil tumbuhan pakan;
b. tempat perkawinan alami, seleksi, kastrasi, dan pelayanan inseminasi buatan;
c. tempat pelayanan kesehatan hewan; dan/atau
d. tempat atau objek penelitian dan pengembangan teknologi peternakan dan kesehatan hewan.
(3) Pemerintah daerah kabupaten/kota yang di daerahnya mempunyai persediaan lahan yang memungkinkan dan memprioritaskan budi daya Ternak skala kecil diwajibkan menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum.

(4) Pemerintah daerah kabupaten/kota membina bentuk kerja sama antara pengusahaan peternakan dan pengusahaan tanaman pangan, hortikultura,
perikanan, perkebunan, dan kehutanan serta bidang lainnya dalam memanfaatkan lahan di kawasan tersebut sebagai sumber pakan Ternak murah.
(5) Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Pusat dapat menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pengelolaan kawasan penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

2. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13
(1) Penyediaan dan pengembangan Benih dan/atau Bibit dilakukan untuk memenuhi kebutuhan penyediaan Benih dan/atau Bibit.
(2) Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pengembangan usaha pembenihan dan/atau pembibitan dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk menjamin ketersediaan Benih, Bibit, dan/atau bakalan.
(3) Dalam hal usaha pembenihan dan/atau pembibitan oleh masyarakat belum berkembang, Pemerintah Pusat membentuk unit pembenihan dan/atau pembibitan.
(4) Setiap Benih atau Bibit yang beredar wajib memiliki sertifikat layak Benih atau Bibit yang memuat keterangan mengenai silsilah dan ciri-ciri keunggulan tertentu.
(5) Sertifikat layak Benih atau Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi Benih atau Bibit yang terakreditasi.

3. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15
(1) Pemasukan Benih dan/atau Bibit dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dilakukan untuk:
a. meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
b. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi;
c. mengatasi kekurangan Benih dan/ atau Bibit di dalam negeri; dan/atau
d. memenuhi keperluan penelitian dan pengembangan.
(2) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Benih dan/atau Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

4. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16
(1) Pengeluaran Benih dan/ atau Bibit dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi dan kelestarian Ternak lokal terjamin.
(2) Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan terhadap Benih dan/atau Bibit yang terbaik di dalam negeri.
(3) Setiap Orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Peizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

5. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Setiap orang yang memproduksi pakan dan/atau bahan pakan untuk diedarkan secara komersial wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Pakan yang dibuat untuk diedarkan secara komersial harus memenuhi standar atau persyaratan teknis minimal dan keamanan pakan serta memenuhi ketentuan cara pembuatan pakan yang baik yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Pakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berlabel sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Setiap orang dilarang:
a. mengedarkan pakan yang tidak layak dikonsumsi;
b. menggunakan dan/atau mengedarkan pakan Ruminansia yang mengandung bahan pakan yang berupa darah, daging, dan/atau tulang; dan/atau
c. menggunakan pakan yang dicampur hormon tertentu dan/atau antibiotik imbuhan pakan.
(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah.

6. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29
(1) Budi Daya Ternak hanya dapat dilakukan oleh peternak, perusahaan peternakan, serta pihak tertentu untuk kepentingan khusus.
(2) Peternak yang melakukan budi daya Ternak dengan jenis dan jumlah Ternak di bawah skala usaha tertentu diberikan Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Pusat.

(3) Perusahaan peternakan yang melakukan budi daya ternak dengan jenis dan jumlah Ternak di atas skala usaha tertentu wajib memenuhi Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Pusat.

(4) Peternak, perusahaan peternakan, dan pihak tertentu yang mengusahakan Ternak dengan skala usaha tertentu wajib mengikuti tata cara budi daya Ternak yang baik dengan tidak mengganggu ketertiban umum sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Pemerintah Pusat berkewajiban untuk melindungi usaha peternakan dalam negeri dari persaingan tidak sehat di antara pelaku usaha.

7. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30
(1) Pemerintah Pusat mengembangkan Usaha Budi Daya melalui penanaman modal oleh perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang berbadan hukum.
(2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

8. Ketentuan Pasal 36B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36B
(1) Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan untuk memenuhi konsumsi masyarakat.
(2) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

(3) Pemasukan Ternak dari luar negeri harus:
a. memenuhi persyaratan teknis Kesehatan Hewan;
b. bebas dari Penyakit Hewan Menular yang dipersyaratkan oleh Otoritas Veteriner; dan
c. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Karantina Hewan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak dan Produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

9. Ketentuan Pasal 36C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36C
(1) Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya.
(2) Persyaratan dan tata cara pemasukan Ternak Ruminansia indukan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ditetapkan berdasarkan analisis risiko di bidang Kesehatan Hewan oleh Otoritas Veteriner.

(3) Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus terlebih dahulu:
a. dinyatakan bebas Penyakit Hewan Menular di negara asal oleh otoritas veteriner negara asal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh Otoritas Veteriner Indonesia;
b. dilakukan penguatan sistem dan pelaksanaan surveilan di dalam negeri; dan
c. ditetapkan tempat pemasukan tertentu.

(4) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Ternak Ruminansia Indukan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Perizinan Berusaha diatur dengan Peraturan Pemerintah.

10. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37
Pemerintah Pusat membina dan memfasilitasi berkembangnya industri pengolahan Produk Hewan dengan penggunaan bahan baku yang memenuhi standar.

11. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 52
(1) Setiap orang yang berusaha di bidang pembuatan, penyediaan, dan/atau peredaran obat hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Setiap orang dilarang membuat, menyediakan, dan/atau mengedarkan obat hewan yang:
a. berupa sediaan biologik yang penyakitnya tidak ada di Indonesia;
b. tidak memiliki nomor pendaftaran;
c. tidak diberi label dan tanda; dan
d. tidak memenuhi standar mutu.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

12. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 54
(1) Penyediaan obat hewan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan obat hewan.
(2) Penyediaan obat hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari produksi dalam negeri atau dari luar negeri.
(3) Pengeluaran obat hewan produksi dalam negeri ke luar negeri harus sesuai standar.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan dan pengeluaran dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

13. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 59
(1) Setiap Orang yang akan memasukkan Produk Hewan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Persyaratan dan tata cara pemasukan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan yang berbasis analisis risiko di bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

14. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 60
(1) Setiap orang yang mempunyai unit usaha Produk Hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha berupa nomor kontrol veteriner yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

15. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 62
(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan teknis.
(2) Rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan oleh setiap orang setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Usaha rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan di bawah pengawasan dokter hewan berwenang di bidang pengawasan kesehatan masyarakat veteriner.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha rumah potong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

16. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 69
(1) Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa laboratorium veteriner, pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner, pelayanan jasa medik veteriner, dan/atau pelayanan jasa di pusat kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan.
(2) Setiap orang yang berusaha di bidang pelayanan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha pelayanan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

17. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 72
(1) Tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Tenaga asing kesehatan hewan dapat melakukan praktik pelayanan kesehatan hewan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral antara pihak Indonesia dan negara atau lembaga asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

18. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 84
(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang peternakan dan kesehatan hewan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana.

(2) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana;
f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana;
j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana;
l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku.

(3) Kedudukan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum.

19. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 85
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (4), Pasal 15 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 23, Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 29 ayat (3), Pasal 42 ayat (5), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 50 ayat (3), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (1), Pasal 54 ayat (3), Pasal 58 ayat (5), Pasal 59 ayat (2), Pasal 61 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 62 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 69 ayat (2), dan Pasal 72 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

20. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 88
(1) Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan alat dan mesin tanpa mengutamakan keselamatan dan keamanan bagi pemakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dan/atau belum diuji berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 11 (sebelas) bulan
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 66

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360) diubah:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 7 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
2. Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

3. Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

4. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
5. Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.

6. Produksi Pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk Pangan.
7. Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya Pangan dari hasil produksi dalam negeri, Cadangan Pangan Nasional, dan Impor Pangan.
8. Cadangan Pangan Nasional adalah persediaan Pangan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk konsumsi manusia dan untuk menghadapi masalah kekurangan Pangan, gangguan pasokan dan harga, serta keadaan darurat.
9. Cadangan Pangan Pemerintah adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh Pemerintah.
10. Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah provinsi.
11. Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota.
12. Cadangan Pangan Pemerintah Desa adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah desa.
13. Cadangan Pangan Masyarakat adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh masyarakat di tingkat pedagang, komunitas, dan rumah tangga.
14. Penyelenggaraan Pangan adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam penyediaan, keterjangkauan, pemenuhan konsumsi Pangan dan Gizi, serta keamanan Pangan dengan melibatkan peran serta masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu.

15. Pangan Pokok adalah Pangan yang diperuntukkan sebagai makanan utama sehari-hari sesuai dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal.
16. Penganekaragaman Pangan adalah upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi Pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi sumber daya lokal.
17. Pangan Lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal.
18. Pangan Segar adalah Pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan Pangan.
19. Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
20. Petani adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang melakukan usaha tani di bidang Pangan.
21. Nelayan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
22. Pembudi Daya Ikan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya membesarkan, membiakkan, dan/atau memelihara ikan dan sumber hayati perairan lainnya serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol.
23. Perdagangan Pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penjualan dan/atau pembelian Pangan, termasuk penawaran untuk menjual Pangan dan kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan Pangan dengan memperoleh imbalan.

24. Ekspor Pangan adalah kegiatan mengeluarkan Pangan dari daerah pabean negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen.
25. Impor Pangan adalah kegiatan memasukkan Pangan ke dalam daerah pabean negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen.
26. Peredaran Pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran Pangan kepada masyarakat, baik diperdagangkan maupun tidak.
27. Bantuan Pangan adalah Bantuan Pangan Pokok dan Pangan lainnya yang diberikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat dalam mengatasi Masalah Pangan dan Krisis Pangan, meningkatkan akses Pangan bagi masyarakat miskin dan/atau rawan Pangan dan Gizi, dan kerja sama internasional.
28. Masalah Pangan adalah keadaan kekurangan, kelebihan, dan/atau ketidakmampuan perseorangan atau rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan Pangan dan Keamanan Pangan.
29. Krisis Pangan adalah kondisi kelangkaan Pangan yang dialami sebagian besar masyarakat di suatu wilayah yang disebabkan oleh, antara lain, kesulitan distribusi Pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan, dan konflik sosial, termasuk akibat perang.

30. Sanitasi Pangan adalah upaya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi Pangan yang sehat dan higienis yang bebas dari bahaya cemaran biologis, kimia, dan benda lain.
31. Persyaratan Sanitasi adalah standar kebersihan dan kesehatan yang harus dipenuhi untuk menjamin Sanitasi Pangan.
32. Iradiasi Pangan adalah metode penanganan Pangan, baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan, membebaskan Pangan dari jasad renik patogen, serta mencegah pertumbuhan tunas.
33. Rekayasa Genetik Pangan adalah suatu proses yang melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama untuk mendapatkan jenis baru yang mampu menghasilkan produk Pangan yang lebih unggul.
34. Pangan Produk Rekayasa Genetik adalah Pangan yang diproduksi atau yang menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari proses rekayasa genetik.
35. Kemasan Pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus Pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan Pangan maupun tidak.
36. Mutu Pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan dan kandungan Gizi Pangan.
37. Gizi adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam Pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, serat, air, dan komponen lain yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.
38. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

39. Pelaku Usaha Pangan adalah Setiap Orang yang bergerak pada satu atau lebih subsistem agribisnis Pangan, yaitu penyedia masukan produksi, proses produksi, pengolahan, pemasaran, perdagangan, dan penunjang.
40. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
41. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

2. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14
Sumber penyediaan Pangan berasal dari Produksi Pangan dalam negeri, Cadangan Pangan Nasional, dan Impor Pangan.

3. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15
(1) Produksi pangan dalam negeri digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan.
(2) Dalam hal Ketersediaan Pangan untuk kebutuhan konsumsi dan cadangan Pangan sudah tercukupi, kelebihan Produksi Pangan dalam negeri dapat digunakan untuk keperluan lain.

4. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36
(1) Impor Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
(2) Impor Pangan Pokok dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan di dalam negeri.
(3) Kebutuhan konsumsi pangan dan cadangan pangan di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

5. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39
Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan dalam rangka keberlanjutan usaha tani.

6. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 68
(1) Pemerintah Pusat menjamin terwujudnya penyelenggaraan Keamanan Pangan di setiap rantai Pangan secara terpadu.
(2) Pemerintah Pusat menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan.
(3) Pelaku Usaha Pangan termasuk Usaha Mikro dan Kecil wajib menerapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara bertahap berdasarkan jenis Pangan dan skala usaha Pangan.
(5) Pemerintah Pusat wajib membina dan mengawasi pelaksanaan penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria keamanan Pangan termasuk pentahapannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

7. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 74
(1) Pemerintah Pusat berkewajiban memeriksa keamanan bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan Pangan yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan untuk diedarkan.
(2) Pemeriksaan keamanan bahan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka pemenuhan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

8. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 77
(1) Setiap Orang dilarang memproduksi Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Setiap Orang yang melakukan kegiatan atau proses Produksi Pangan dilarang menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

9. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 81
(1) Iradiasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dilakukan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

10. Ketentuan Pasal 87 dihapus.

11. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 88
(1) Pelaku Usaha Pangan di bidang Pangan Segar harus memenuhi standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan Segar.
(2) Pemerintah Pusat wajib membina, mengawasi, dan memfasilitasi pengembangan usaha Pangan Segar untuk memenuhi persyaratan teknis minimal Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.
(3) Penerapan standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan Segar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap sesuai dengan jenis Pangan Segar serta jenis dan/atau skala usaha.

12. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 91
(1) Dalam hal pengawasan keamanan, mutu, dan Gizi, setiap Pangan Olahan yang dibuat di dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran, Pelaku Usaha Pangan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap produk Pangan Olahan tertentu yang diproduksi oleh Usaha Mikro dan Kecil.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

13. Ketentuan Pasal 132 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 132
(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang pangan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana.
(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana;
f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana;
j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana;
l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku.

(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia.

(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil terentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum.

14. Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 133
(1) Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau menyimpan melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi, dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Dalam hal Pelaku Usaha Pangan tidak memenuhi kewajiban pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

15. Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 134
(1) Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan tertentu untuk diperdagangkan, yang dengan sengaja tidak menerapkan tata cara pengolahan Pangan yang dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan kandungan Gizi bahan baku Pangan yang digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Dalam hal pelaku tidak memenuhi kewajiban pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

16. Ketentuan Pasal 135 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 135
(1) Setiap Orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan yang tidak memenuhi Persyaratan Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
(2) Dalam hal pelaku tidak memenuhi kewajiban pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

17. Ketentuan Pasal 139 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 139
Setiap Orang yang dengan sengaja membuka kemasan akhir Pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) yang membahayakan kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

18. Ketentuan Pasal 140 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 140
Setiap Orang yang memproduksi dan memperdagangkan Pangan yang dengan sengaja tidak memenuhi standar Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2), yang membahayakan kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

19. Ketentuan Pasal 141 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 141
Setiap Orang yang dengan sengaja memperdagangkan Pangan yang tidak sesuai dengan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan yang tercantum dalam label Kemasan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, yang membahayakan kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

20. Ketentuan Pasal 142 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 142
(1) Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait Pangan Olahan yang dibuat didalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah);
(2) Dalam hal setiap orang tidak memenuhi kewajiban pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar