RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN ….
TENTANG
CIPTA KERJA
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal
30
Beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5613) diubah:
1. Ketentuan Pasal
14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Pemerintah Pusat menetapkan batasan luas maksimum dan
luas minimum penggunaan lahan untuk Usaha Perkebunan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan batasan luas
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Ketentuan Pasal 15 dihapus.
3. Ketentuan Pasal 16 dihapus.
4. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Pejabat yang berwenang dilarang menerbitkan Perizinan
Berusaha Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
(2) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan dalam hal telah dicapai persetujuan antara Masyarakat Hukum Adat
dan Pelaku Usaha Perkebunan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).
5. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
(1) Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
6. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
(1) Pemerintah Pusat menetapkan jenis Benih Tanaman
Perkebunan yang pengeluaran dari dan/atau pemasukannya ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia memerlukan persetujuan.
(2) Pengeluaran Benih dari dan/atau pemasukannya ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib mendapatkan persetujuan dari
Pemerintah Pusat.
(3) Pemasukan Benih dari luar negeri harus memenuhi standar
mutu atau persyaratan teknis minimal.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu dan
persyaratan teknis minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
7. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
(1) Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar
negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu harus dilepas oleh Pemerintah Pusat
atau diluncurkan oleh pemilik varietas.
(2) Varietas yang telah dilepas atau diluncurkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diproduksi dan diedarkan.
(3) Varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum
diedarkan harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata
cara pelepasan atau peluncuran serta Perizinan Berusaha diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
8. Ketentuan Pasal 31 dihapus.
9. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
(1) Dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tumbuhan,
setiap Pelaku Usaha Perkebunan berkewajiban memenuhi persyaratan minimum sarana
dan prasarana pengendalian organisme pengganggu Tanaman Perkebunan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan minimum sarana dan
prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 39
Pelaku Usaha Perkebunan dapat melakukan Usaha Perkebunan di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
11. Ketentuan Pasal 40 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 42
(1) Kegiatan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dan/atau
usaha Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1)
hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan apabila telah mendapatkan hak
atas tanah dan memenuhi Perizinan Berusaha terkait Perkebunan dari Pemerintah
Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
Kegiatan usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dapat didirikan
pada wilayah Perkebunan swadaya masyarakat yang belum ada usaha Pengolahan
Hasil Perkebunan setelah memperoleh hak atas tanah dan Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
14. Ketentuan Pasal 45 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 47
(1) Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha budi daya
Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil
Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu wajib memenuhi Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
16. Ketentuan Pasal 48 dihapus.
17. Ketentuan Pasal 49 dihapus.
18. Ketentuan Pasal 50 dihapus.
19. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 58
(1) Perusahaan Perkebunan yang melakukan kegiatan usaha
perkebunan dan kegiatan usaha perkebunan budi daya wajib memfasilitasi
pembangunan kebun masyarakat.
(2) Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pola kredit, bagi hasil, bentuk
kemitraan lainnya atau bentuk pendanaan lain yang disepakati sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 3
(tiga) tahun sejak hak guna usaha diberikan.
(4) Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Pemerintah Pusat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi pembangunan
kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
20. Ketentuan Pasal 59 dihapus.
21. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 60
(1) Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda,
dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
22. Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 64
Pelaku Usaha Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
23. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 67
(1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan wajib memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban memelihara
kelestarian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
24. Ketentuan Pasal 68 dihapus.
25. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 70
(1) Setiap Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda,
dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
26. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 74
(1) Setiap unit Pengolahan Hasil Perkebunan tertentu yang
berbahan baku impor wajib membangun kebun dalam jangka waktu tertentu setelah
unit pengolahannya beroperasi.
(2) Ketentuan mengenai jenis Pengolahan Hasil Perkebunan
tertentu dan jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
27. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 75
(1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda,
dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah
28. Ketentuan Pasal 86 dihapus.
29. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 93
(1) Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara.
(2) Pembiayaan penyelenggaraan Perkebunan yang dilakukan
oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah.
(3) Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Pelaku
Usaha Perkebunan bersumber dari penghimpunan dana Pelaku Usaha Perkebunan, dana
lembaga pembiayaan, dana masyarakat, dan dana lain yang sah.
(4) Penghimpunan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan,
promosi Perkebunan, peremajaan Tanaman Perkebunan, sarana dan prasarana
Perkebunan, pengembangan perkebunan, dan/atau pemenuhan hasil Perkebunan untuk
kebutuhan pangan, bahan bakar nabati, dan hilirisasi
Industri Perkebunan.
(5) Dana yang
dihimpun oleh pelaku usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dikelola oleh badan pengelola dana perkebunan, yang berwenang untuk menghimpun,
mengadministrasikan, mengelola, menyimpan, dan menyalurkan dana tersebut.
(6) Ketentuan lebih
lanjut mengenai penghimpunan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan badan
pengelola dana perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
30. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 95
(1) Pemerintah Pusat mengembangkan Usaha Perkebunan melalui
penanaman modal.
(2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
penanaman modal.
31. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 96
(1) Pembinaan Usaha Perkebunan dilakukan oleh Pemerintah
Pusat.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perencanaan;
b. pelaksanaan Usaha Perkebunan;
c. pengolahan dan pemasaran Hasil Perkebunan;
d. penelitian dan pengembangan;
e. pengembangan sumber daya manusia;
f. pembiayaaan Usaha Perkebunan; dan
g. pemberian rekomendasi penanaman modal.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
32. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 97
(1) Pembinaan teknis untuk Perusahaan Perkebunan milik
negara, swasta dan/atau Pekebun dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Evaluasi atas kinerja Perusahaan Perkebunan milik negara
dan/atau swasta dilaksanakan melalui penilaian Usaha Perkebunan secara rutin
dan/atau sewaktu-waktu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan teknis dan
penilaian Usaha Perkebunan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
33. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 99
(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dilakukan
melalui:
a. pelaporan dari Pelaku Usaha Perkebunan; dan/atau
b. pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil
Usaha Perkebunan.
(2) Dalam hal tertentu pengawasan dapat dilakukan melalui
pemeriksaan terhadap proses dan Hasil Perkebunan.
(3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
merupakan informasi publik yang diumumkan dan dapat diakses secara terbuka oleh
masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dilakukan dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian laporan dengan
pelaksanaan di lapangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
34. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 102
(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang
perkebunan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk
melakukan penyidikan tindak pidana.
(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan
dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak
pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga
melakukan tindak pidana;
f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik
terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti
adanya tindak pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya
tindak pidana;
j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang
digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang
dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana;
l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara tindak pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau
instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku.
(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan
Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan,
melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada
aparat penegak hukum.
35. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 103
Setiap pejabat yang menerbitkan Perizinan Berusaha terkait
Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 154
36. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 105
(1) Setiap Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha budi
daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan
Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu yang tidak memenuhi Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dikenai sanksi
administratif berupa denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
37. Ketentuan Pasal 109 dihapus.
Pasal 31
Beberapa ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4043) diubah:
1. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 11
(1) Permohonan hak PVT diajukan kepada Kantor PVT secara
tertulis dalam bahasa Indonesia dengan membayar biaya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2) Dalam hal permohonan hak PVT diajukan oleh:
a. orang atau badan hukum selaku kuasa pemohon harus
disertai surat kuasa khusus dengan mencantumkan nama dan alamat lengkap kuasa
yang berhak;
b. ahli waris harus disertai dokumen bukti ahli waris.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan
permohonan hak PVT diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 29
(1) Permohonan pemeriksaan substantif atas permohonan hak
PVT harus diajukan ke Kantor PVT secara tertulis selambat-lambatnya satu bulan
setelah berakhirnya masa pengumuman dengan membayar biaya pemeriksaan tersebut
(2) Besarnya biaya pemeriksaan substantif ditetapkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penerimaan Negara Bukan
Pajak.
3. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 40
(1) Hak PVT dapat beralih atau dialihkan karena:
a. pewarisan;
b. hibah;
c. wasiat;
d. perjanjian dalam bentuk akta notaris; atau
e. sebab lain yang dibenarkan oleh undang-undang.
(2) Pengalihan hak PVT sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
butir a, b, dan c harus disertai dengan dokumen PVT berikut hak lain yang
berkaitan dengan itu.
(3) Setiap pengalihan hak PVT wajib dicatatkan pada Kantor
PVT dan dicatat dalam Daftar Umum PVT dengan membayar biaya yang besarnya
ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
Penerimaan Negara Bukan Pajak
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pengalihan hak PVT diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
(1) Perjanjian lisensi harus dicatatkan pada Kantor PVT dan
dimuat dalam Daftar Umum PVT dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penerimaan
Negara Bukan Pajak.
(2) Dalam hal perjanjian lisensi tidak dicatatkan di Kantor
PVT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka perjanjian lisensi tersebut tidak
mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
5. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 63
(1) Untuk kelangsungan berlakunya hak PVT, pemegang hak PVT
wajib membayar biaya tahunan.
(2) Untuk setiap pengajuan permohonan hak PVT, permintaan
pemeriksaan, petikan Daftar Umum PVT, salinan surat PVT, salinan dokumen PVT,
pencatatan pengalihan hak PVT, pencatatan surat perjanjian lisensi, pencatatan
Lisensi Wajib, serta lain-lainnya
yang ditentukan berdasarkan undang-undang ini wajib membayar
biaya.
(3) Ketentuan mengenai besar biaya, persyaratan dan tata
cara pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penerimaan
Negara Bukan Pajak.
Pasal 32
Beberapa ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian
Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 241,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043) diubah:
1. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
(1) Setiap Orang dilarang mengalihfungsikan Lahan yang sudah
ditetapkan sebagai Lahan budi daya Pertanian.
(2) Dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau proyek
strategis nasional, Lahan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Alih fungsi Lahan budi daya Pertanian untuk kepentingan
umum dan/atau proyek strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
dilaksanakan pada Lahan Pertanian yang telah memiliki jaringan pengairan
lengkap wajib menjaga fungsi jaringan pengairan lengkap.
2. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
(1) Pengadaan Benih unggul melalui pemasukan dari luar
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dilakukan setelah mendapat
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Pengeluaran Benih unggul dari wilayah Negara Republik
Indonesia dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha berdasarkan Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
(3) Dalam hal pemasukan dari luar negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan pengeluaran Benih unggul dari wilayah Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh instansi
pemerintah, harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dnaniatur dengan Peraturan
Pemerintah.
3. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
Pengeluaran Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit
Hewan, dan hewan dari wilayah Negara Republik Indonesia oleh Setiap Orang dapat
dilakukan jika keperluan dalam negeri telah terpenuhi setelah mendapat
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
4. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 44
(1) Pemasukan Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit
Hewan, dan hewan dari luar negeri dapat dilakukan untuk:
a. meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
b. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan/atau
c. memenuhi keperluan di dalam negeri.
(2) Pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi persyaratan.
(3) Setiap Orang yang melakukan pemasukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(4) Dalam hal pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh pemerintah, harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
5. Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 86
(1) Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat
(1) yang melakukan Usaha Budi Daya Pertanian di atas skala tertentu wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Pemerintah Pusat dilarang memberikan Perizinan Berusaha
terkait Usaha Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas
tanah hak ulayat masyarakat hukum adat.
(3) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikecualikan dalam hal telah dicapai persetujuan antara masyarakat hukum adat
dan Pelaku Usaha.
6. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 102
(1) Sistem informasi Pertanian mencakup pengumpulan,
pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data
Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan.
(2) Pemerintah Pusat berkewajiban membangun, menyusun, dan
mengembangkan sistem informasi Pertanian yang terintegrasi.
(3) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit digunakan untuk keperluan:
a. perencanaan
b. pemantauan dan evaluasi;
c. pengelolaan pasokan dan permintaan produk Pertanian; dan
d. pertimbangan penanaman modal.
(4) Kewajiban Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan oleh pusat data dan informasi.
(5) Pusat data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) berkewajiban melakukan pemutakhiran data dan informasi Sistem Budi Daya
Pertanian Berkelanjutan secara akurat dan dapat diakses oleh masyarakat.
(6) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh Pelaku Usaha dan masyarakat.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
7. Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 107
(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
Lingkungan Instansi Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang
sistem budi daya pertanian berkelanjutan diberi wewenang khusus sebagai
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana.
(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan
dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak
pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga
melakukan tindak pidana;
f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap
orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya
tindak pidana;
j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang
digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang
dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana;
l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara tindak pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau
instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku.
(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan
Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan,
melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada
aparat penegak hukum.
8. Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 108
(1) Sanksi administratif dikenakan kepada:
a. Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), Pasal 28 ayat (3), Pasal 43, Pasal 44 ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 66 ayat (2), Pasal 7l ayat (3), Pasal 76 ayat (3), dan
Pasal 79;
b. Pelaku Usaha dan/atau instansi pemerintah yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Pasal 18 ayat (2),
Pasal 32 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3); dan
c. Produsen dan/atau distributor yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
9. Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 111
(1) Pelaku Usaha yang menggunakan Lahan hak ulayat yang
tidak melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat
untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dikenakan
sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah)
(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 33
Beberapa ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5433) diubah:
1. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
(1) Pemerintah Pusat melakukan upaya peningkatan produksi
pertanian dalam negeri.
(2) Peningkatan produksi pertanian dalam negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui strategi perlindungan petani
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
2. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
(1) Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan
pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan melalui impor.
(2) Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
3. Ketentuan Pasal 101 dihapus.
Pasal 34
Beberapa ketentuan dalam
Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5170) diubah:
1. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
(1) Pelaku Usaha di bidang Hortikultura dapat memanfaatkan
sumber daya manusia dalam negeri dan luar negeri.
(2) Pemanfaatan Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
(1) Sarana hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
berasal dari dalam negeri dan/atau luar negeri.
(2) Sarana hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang diedarkan, harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Dalam hal sarana hortikultura merupakan atau mengandung
hasil rekayasa genetik, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), peredarannya wajib mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang keamanan hayati.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
terkait sarana hortikultura diatur dengan Peraturan Pemerintah.
3. Ketentuan Pasal 35 dihapus.
4. Ketentuan Pasal 48 dihapus.
5. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 49
(1) Unit usaha budi daya hortikultura mikro dan kecil wajib
didata oleh Pemerintah.
(2) Unit usaha budi daya hortikultura menengah dan unit
usaha budi daya hortikultura besar harus memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
6. Ketentuan Pasal 51 dihapus.
7. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 52
(1) Usaha hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
8. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 54
(1) Pelaku usaha dalam melaksanakan usaha hortikultura wajib
memenuhi standar proses atau persyaratan teknis minimal.
(2) Pelaku usaha dalam memproduksi produk hortikultura wajib
memenuhi standar mutu dan keamanan pangan produk hortikultura.
(3) Pemerintah Pusat membina dan memfasilitasi pengembangan
usaha hortikultura untuk memenuhi standar mutu dan keamanan pangan produk.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu dan
keamanan pangan produk hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
9. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 56
(1) Usaha hortikultura dapat dilakukan dengan pola
kemitraan.
(2) Pola kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melibatkan pelaku usaha hortikultura mikro, kecil, menengah, dan besar.
(3) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan dengan pola:
a. inti-plasma;
b. subkontrak;
c. waralaba;
d. perdagangan umum;
e. distribusi dan keagenan; dan
f. bentuk kemitraan lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola kemitraan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 57
(1) Usaha perbenihan meliputi pemuliaan, produksi Benih,
sertifikasi, peredaran Benih, serta pengeluaran Benih dari dan pemasukan Benih
ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
(2) Dalam hal pemuliaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan introduksi dalam bentuk Benih atau materi induk yang belum ada
di wilayah Negara Republik Indonesia.
(3) Usaha perbenihan hanya dapat dilakukan oleh pelaku usaha
yang memiliki sertifikat kompetensi atau badan usaha yang bersertifikat dalam
bidang perbenihan dengan wajib menerapkan jaminan mutu Benih melalui penerapan
sertifikasi.
(4) Ketentuan sertifikat kompetensi atau badan usaha yang
bersertifikat dan kewajiban menerapkan jaminan mutu Benih sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), dikecualikan bagi pelaku usaha perseorangan atau kelompok yang
melakukan usaha perbenihan untuk dipergunakan sendiri dan/atau terbatas dalam 1
(satu) kelompok.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai produksi Benih,
sertifikasi, peredaran Benih, serta pengeluaran dan pemasukan Benih sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), introduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
sertifikasi kompetensi, sertifikasi badan usaha dan jaminan mutu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), serta pengecualian kewajiban penerapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
11. Ketentuan Pasal 63 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 68
Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha budi daya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65, tata cara pendataan dan pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66, serta persetujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 73
(1) Usaha perdagangan produk hortikultura mengatur proses
jual beli antarpedagang dan antara pedagang dengan konsumen.
(2) Pelaku usaha perdagangan produk hortikultura harus
menerapkan sistem pengkelasan produk berdasarkan standar mutu dan standar harga
secara transparan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban sistem
pengkelasan produk berdasarkan standar mutu dan standar harga secara transparan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
14. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 88
(1) Impor produk hortikultura memperhatikan aspek:
a. keamanan pangan produk hortikultura;
b. persyaratan kemasan dan pelabelan;
c. standar mutu; dan
d. ketentuan keamanan dan perlindungan terhadap kesehatan
manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan.
(2) Impor produk hortikultura dapat dilakukan setelah
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Impor produk hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui pintu masuk yang ditetapkan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
15. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 90
Pemerintah Pusat dalam meningkatkan pemasaran hortikultura
memberikan informasi pasar.
16. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 92
(1) Penyelenggara pasar dan tempat lain untuk perdagangan
produk hortikultura dapat menyelenggarakan penjualan produk hortikultura lokal
dan asal impor.
(2) Penyelenggara pasar dan tempat lain untuk perdagangan
produk hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menyediakan
fasilitas pemasaran yang memadai.
17. Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 100
(1) Pemerintah Pusat mendorong penanaman modal dalam usaha hortikultura.
(2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
penanaman modal.
18. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 101
Pelaku usaha hortikultura menengah dan besar wajib
memberikan kesempatan pemagangan.
19. Ketentuan Pasal 122 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 122
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 37,
Pasal 38, Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 56 ayat (3), Pasal 60 ayat (2),
Pasal 71, Pasal 73 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 81 ayat (4), Pasal 84 ayat (1),
Pasal 88 ayat (1), Pasal 92 ayat (2), Pasal 101, Pasal 108 ayat (2), atau Pasal
109 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
20. Ketentuan Pasal 123 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 123
(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di
bidang hortikultura diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri
Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk
melakukan penyidikan tindak pidana.
(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan
dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak
pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga
melakukan tindak pidana;
f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik
terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti
adanya tindak pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya
tindak pidana;
j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan
untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang
dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana;
l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara tindak pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau
instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku.
(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan
Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan,
melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada
aparat penegak hukum.
21. Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 126
(1) Setiap orang yang mengedarkan sarana hortikultura yang
tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dikenai
sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan rusaknya fungsi lingkungan atau membahayakan nyawa orang, maka
pelaku dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
22. Ketentuan Pasal 131 dihapus.
Pasal 35
Beberapa ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5015) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5619)
diubah:
1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
(1) Lahan yang telah ditetapkan sebagai kawasan
penggembalaan umum harus dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara
berkelanjutan.
(2) Kawasan penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berfungsi sebagai:
a. penghasil tumbuhan pakan;
b. tempat perkawinan alami, seleksi, kastrasi, dan pelayanan
inseminasi buatan;
c. tempat pelayanan kesehatan hewan; dan/atau
d. tempat atau objek penelitian dan pengembangan teknologi
peternakan dan kesehatan hewan.
(3) Pemerintah daerah kabupaten/kota yang di daerahnya
mempunyai persediaan lahan yang memungkinkan dan memprioritaskan budi daya
Ternak skala kecil diwajibkan menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan
umum.
(4) Pemerintah daerah kabupaten/kota membina bentuk kerja
sama antara pengusahaan peternakan dan pengusahaan tanaman pangan,
hortikultura,
perikanan, perkebunan, dan kehutanan serta bidang lainnya
dalam memanfaatkan lahan di kawasan tersebut sebagai sumber pakan Ternak murah.
(5) Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak
menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), Pemerintah Pusat dapat menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan
umum.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pengelolaan
kawasan penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
2. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 13
(1) Penyediaan dan pengembangan Benih dan/atau Bibit
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan penyediaan Benih dan/atau Bibit.
(2) Pemerintah
berkewajiban untuk melakukan pengembangan usaha pembenihan dan/atau pembibitan
dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk menjamin ketersediaan Benih,
Bibit, dan/atau bakalan.
(3) Dalam hal usaha
pembenihan dan/atau pembibitan oleh masyarakat belum berkembang, Pemerintah
Pusat membentuk unit pembenihan dan/atau pembibitan.
(4) Setiap Benih
atau Bibit yang beredar wajib memiliki sertifikat layak Benih atau Bibit yang
memuat keterangan mengenai silsilah dan ciri-ciri keunggulan tertentu.
(5) Sertifikat
layak Benih atau Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikeluarkan oleh
lembaga sertifikasi Benih atau Bibit yang terakreditasi.
3. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
(1) Pemasukan Benih dan/atau Bibit dari luar negeri ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dilakukan untuk:
a. meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
b. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi;
c. mengatasi kekurangan Benih dan/ atau Bibit di dalam
negeri; dan/atau
d. memenuhi keperluan penelitian dan pengembangan.
(2) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Benih dan/atau
Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
(1) Pengeluaran Benih dan/ atau Bibit dari wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan apabila kebutuhan
dalam negeri telah terpenuhi dan kelestarian Ternak lokal terjamin.
(2) Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
dilakukan terhadap Benih dan/atau Bibit yang terbaik di dalam negeri.
(3) Setiap Orang yang melakukan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Peizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
5. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
(1) Setiap orang yang memproduksi pakan dan/atau bahan pakan
untuk diedarkan secara komersial wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
(2) Pakan yang dibuat untuk diedarkan secara komersial harus
memenuhi standar atau persyaratan teknis minimal dan keamanan pakan serta
memenuhi ketentuan cara pembuatan pakan yang baik yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
(3) Pakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berlabel
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Setiap orang dilarang:
a. mengedarkan pakan yang tidak layak dikonsumsi;
b. menggunakan dan/atau mengedarkan pakan Ruminansia yang mengandung
bahan pakan yang berupa darah, daging, dan/atau tulang; dan/atau
c. menggunakan pakan yang dicampur hormon tertentu dan/atau
antibiotik imbuhan pakan.
(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah.
6. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 29
(1) Budi Daya Ternak hanya dapat dilakukan oleh peternak,
perusahaan peternakan, serta pihak tertentu untuk kepentingan khusus.
(2) Peternak yang melakukan budi daya Ternak dengan jenis
dan jumlah Ternak di bawah skala usaha tertentu diberikan Perizinan Berusaha
oleh Pemerintah Pusat.
(3) Perusahaan peternakan yang melakukan budi daya ternak
dengan jenis dan jumlah Ternak di atas skala usaha tertentu wajib memenuhi
Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Pusat.
(4) Peternak, perusahaan peternakan, dan pihak tertentu yang
mengusahakan Ternak dengan skala usaha tertentu wajib mengikuti tata cara budi
daya Ternak yang baik dengan tidak mengganggu ketertiban umum sesuai dengan
pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Pemerintah Pusat berkewajiban untuk melindungi usaha
peternakan dalam negeri dari persaingan tidak sehat di antara pelaku usaha.
7. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
(1) Pemerintah Pusat mengembangkan Usaha Budi Daya melalui
penanaman modal oleh perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang
berbadan hukum.
(2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang penanaman modal.
8. Ketentuan Pasal 36B diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36B
(1) Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan untuk memenuhi
konsumsi masyarakat.
(2) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Ternak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Pemasukan Ternak dari luar negeri harus:
a. memenuhi persyaratan teknis Kesehatan Hewan;
b. bebas dari Penyakit Hewan Menular yang dipersyaratkan
oleh Otoritas Veteriner; dan
c. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
Karantina Hewan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak dan
Produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
9. Ketentuan Pasal 36C diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36C
(1) Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara yang telah
memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya.
(2) Persyaratan dan tata cara pemasukan Ternak Ruminansia
indukan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
ditetapkan berdasarkan analisis risiko di bidang Kesehatan Hewan oleh Otoritas
Veteriner.
(3) Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal dari
zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain harus memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus terlebih dahulu:
a. dinyatakan bebas Penyakit Hewan Menular di negara asal
oleh otoritas veteriner negara asal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh Otoritas Veteriner Indonesia;
b. dilakukan penguatan sistem dan pelaksanaan surveilan di
dalam negeri; dan
c. ditetapkan tempat pemasukan tertentu.
(4) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Ternak Ruminansia
Indukan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) wajib memenuhi Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak
Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
Perizinan Berusaha diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 37
Pemerintah Pusat membina dan memfasilitasi berkembangnya
industri pengolahan Produk Hewan dengan penggunaan bahan baku yang memenuhi
standar.
11. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 52
(1) Setiap orang yang berusaha di bidang pembuatan,
penyediaan, dan/atau peredaran obat hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat.
(2) Setiap orang dilarang membuat, menyediakan, dan/atau
mengedarkan obat hewan yang:
a. berupa sediaan biologik yang penyakitnya tidak ada di
Indonesia;
b. tidak memiliki nomor pendaftaran;
c. tidak diberi label dan tanda; dan
d. tidak memenuhi standar mutu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
12. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 54
(1) Penyediaan obat hewan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
obat hewan.
(2) Penyediaan obat hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berasal dari produksi dalam negeri atau dari luar negeri.
(3) Pengeluaran obat hewan produksi dalam negeri ke luar
negeri harus sesuai standar.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan dan
pengeluaran dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat
(3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 59
(1) Setiap Orang yang akan memasukkan Produk Hewan ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat.
(2) Persyaratan dan tata cara pemasukan Produk Hewan dari
luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan yang berbasis analisis risiko di
bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
14. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 60
(1) Setiap orang yang mempunyai unit usaha Produk Hewan
wajib memenuhi Perizinan Berusaha berupa nomor kontrol veteriner yang
diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
15. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 62
(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah
potong hewan yang memenuhi persyaratan teknis.
(2) Rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diusahakan oleh setiap orang setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
(3) Usaha rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus dilakukan di bawah pengawasan dokter hewan berwenang di bidang
pengawasan kesehatan masyarakat veteriner.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha rumah
potong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
16. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 69
(1) Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa
laboratorium veteriner, pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian
veteriner, pelayanan jasa medik veteriner, dan/atau pelayanan jasa di pusat
kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan.
(2) Setiap orang yang berusaha di bidang pelayanan kesehatan
hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
pelayanan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
17. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 72
(1) Tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan
kesehatan hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Tenaga asing kesehatan hewan dapat melakukan praktik
pelayanan kesehatan hewan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral antara pihak Indonesia dan
negara atau lembaga asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
18. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 84
(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang
peternakan dan kesehatan hewan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai
Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
untuk melakukan penyidikan tindak pidana.
(2) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan
dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak
pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga
melakukan tindak pidana;
f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik
terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti
adanya tindak pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya
tindak pidana;
j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang
digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang
dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana;
l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara tindak pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau
instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku.
(3) Kedudukan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan
Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan,
melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada
aparat penegak hukum.
19. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 85
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (4), Pasal 15
ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) atau ayat
(2), Pasal 23, Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 29 ayat (3), Pasal
42 ayat (5), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 50 ayat
(3), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (1), Pasal 54 ayat (3), Pasal 58 ayat
(5), Pasal 59 ayat (2), Pasal 61 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 62 ayat (2) atau
ayat (3), Pasal 69 ayat (2), dan Pasal 72 ayat (1) dikenai sanksi
administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda,
dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
20. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 88
(1) Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan alat
dan mesin tanpa mengutamakan keselamatan dan keamanan bagi pemakai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dan/atau belum diuji berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) dikenai sanksi administratif
berupa denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana kurungan paling singkat 3
(tiga) bulan dan paling lama 11 (sebelas) bulan
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 66
Beberapa ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5360) diubah:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 7 diubah sehingga Pasal 1
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber
hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan,
perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan,
bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
2. Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang
secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi
rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan
yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
3. Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa
dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat
menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan
dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan
kearifan lokal secara bermartabat.
4. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi
negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
5. Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan
untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain
yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta
tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman
untuk dikonsumsi.
6. Produksi Pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan,
menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali,
dan/atau mengubah bentuk Pangan.
7. Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya Pangan
dari hasil produksi dalam negeri, Cadangan Pangan Nasional, dan Impor Pangan.
8. Cadangan Pangan Nasional adalah persediaan Pangan di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk konsumsi manusia dan
untuk menghadapi masalah kekurangan Pangan, gangguan pasokan dan harga, serta
keadaan darurat.
9. Cadangan Pangan Pemerintah adalah persediaan Pangan yang
dikuasai dan dikelola oleh Pemerintah.
10. Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi adalah persediaan
Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah provinsi.
11. Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah
persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota.
12. Cadangan Pangan Pemerintah Desa adalah persediaan Pangan
yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah desa.
13. Cadangan Pangan Masyarakat adalah persediaan Pangan yang
dikuasai dan dikelola oleh masyarakat di tingkat pedagang, komunitas, dan rumah
tangga.
14. Penyelenggaraan Pangan adalah kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan dalam penyediaan, keterjangkauan, pemenuhan
konsumsi Pangan dan Gizi, serta keamanan Pangan dengan melibatkan peran serta
masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu.
15. Pangan Pokok adalah Pangan yang diperuntukkan sebagai
makanan utama sehari-hari sesuai dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal.
16. Penganekaragaman Pangan adalah upaya peningkatan
ketersediaan dan konsumsi Pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis
pada potensi sumber daya lokal.
17. Pangan Lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat
setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal.
18. Pangan Segar adalah Pangan yang belum mengalami
pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan
baku pengolahan Pangan.
19. Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses
dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
20. Petani adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan
maupun beserta keluarganya yang melakukan usaha tani di bidang Pangan.
21. Nelayan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan
maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
22. Pembudi Daya Ikan adalah warga negara Indonesia, baik
perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya membesarkan,
membiakkan, dan/atau memelihara ikan dan sumber hayati perairan lainnya serta
memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol.
23. Perdagangan Pangan adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan dalam rangka penjualan dan/atau pembelian Pangan, termasuk
penawaran untuk menjual Pangan dan kegiatan lain yang berkenaan dengan
pemindahtanganan Pangan dengan memperoleh imbalan.
24. Ekspor Pangan adalah kegiatan mengeluarkan Pangan dari
daerah pabean negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan,
dan ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif,
dan landas kontinen.
25. Impor Pangan adalah kegiatan memasukkan Pangan ke dalam
daerah pabean negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan,
dan ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif,
dan landas kontinen.
26. Peredaran Pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan dalam rangka penyaluran Pangan kepada masyarakat, baik diperdagangkan
maupun tidak.
27. Bantuan Pangan adalah Bantuan Pangan Pokok dan Pangan
lainnya yang diberikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat
dalam mengatasi Masalah Pangan dan Krisis Pangan, meningkatkan akses Pangan
bagi masyarakat miskin dan/atau rawan Pangan dan Gizi, dan kerja sama
internasional.
28. Masalah Pangan adalah keadaan kekurangan, kelebihan,
dan/atau ketidakmampuan perseorangan atau rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan
Pangan dan Keamanan Pangan.
29. Krisis Pangan adalah kondisi kelangkaan Pangan yang
dialami sebagian besar masyarakat di suatu wilayah yang disebabkan oleh, antara
lain, kesulitan distribusi Pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan
lingkungan, dan konflik sosial, termasuk akibat perang.
30. Sanitasi Pangan adalah upaya untuk menciptakan dan
mempertahankan kondisi Pangan yang sehat dan higienis yang bebas dari bahaya
cemaran biologis, kimia, dan benda lain.
31. Persyaratan Sanitasi adalah standar kebersihan dan
kesehatan yang harus dipenuhi untuk menjamin Sanitasi Pangan.
32. Iradiasi Pangan adalah metode penanganan Pangan, baik
dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya
pembusukan dan kerusakan, membebaskan Pangan dari jasad renik patogen, serta
mencegah pertumbuhan tunas.
33. Rekayasa Genetik Pangan adalah suatu proses yang
melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis
hayati lain yang berbeda atau sama untuk mendapatkan jenis baru yang mampu
menghasilkan produk Pangan yang lebih unggul.
34. Pangan Produk Rekayasa Genetik adalah Pangan yang
diproduksi atau yang menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau
bahan lain yang dihasilkan dari proses rekayasa genetik.
35. Kemasan Pangan adalah bahan yang digunakan untuk
mewadahi dan/atau membungkus Pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan
Pangan maupun tidak.
36. Mutu Pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar
kriteria keamanan dan kandungan Gizi Pangan.
37. Gizi adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam Pangan
yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, serat, air,
dan komponen lain yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.
38. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi,
baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
39. Pelaku Usaha Pangan adalah Setiap Orang yang bergerak
pada satu atau lebih subsistem agribisnis Pangan, yaitu penyedia masukan
produksi, proses produksi, pengolahan, pemasaran, perdagangan, dan penunjang.
40. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
41. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau wali
kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
2. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
Sumber penyediaan Pangan berasal dari Produksi Pangan dalam
negeri, Cadangan Pangan Nasional, dan Impor Pangan.
3. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
(1) Produksi pangan dalam negeri digunakan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi pangan.
(2) Dalam hal Ketersediaan Pangan untuk kebutuhan konsumsi
dan cadangan Pangan sudah tercukupi, kelebihan Produksi Pangan dalam negeri
dapat digunakan untuk keperluan lain.
4. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36
(1) Impor Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri.
(2) Impor Pangan Pokok dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi dan cadangan pangan di dalam negeri.
(3) Kebutuhan konsumsi pangan dan cadangan pangan di dalam
negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
5. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 39
Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dan peraturan Impor
Pangan dalam rangka keberlanjutan usaha tani.
6. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 68
(1) Pemerintah Pusat menjamin terwujudnya penyelenggaraan Keamanan
Pangan di setiap rantai Pangan secara terpadu.
(2) Pemerintah Pusat menetapkan norma, standar, prosedur,
dan kriteria Keamanan Pangan.
(3) Pelaku Usaha Pangan termasuk Usaha Mikro dan Kecil wajib
menerapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria
Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara bertahap
berdasarkan jenis Pangan dan skala usaha Pangan.
(5) Pemerintah Pusat wajib membina dan mengawasi pelaksanaan
penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur
dan kriteria keamanan Pangan termasuk pentahapannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
7. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 74
(1) Pemerintah Pusat berkewajiban memeriksa keamanan bahan
yang akan digunakan sebagai bahan tambahan Pangan yang belum diketahui
dampaknya bagi kesehatan manusia dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan
untuk diedarkan.
(2) Pemeriksaan keamanan bahan tambahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam rangka pemenuhan Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
8. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 77
(1) Setiap Orang dilarang memproduksi Pangan yang dihasilkan
dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
(2) Setiap Orang yang melakukan kegiatan atau proses
Produksi Pangan dilarang menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan,
dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
9. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 81
(1) Iradiasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat
(1) dilakukan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 87 dihapus.
11. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 88
(1) Pelaku Usaha Pangan di bidang Pangan Segar harus
memenuhi standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan Segar.
(2) Pemerintah Pusat wajib membina, mengawasi, dan
memfasilitasi pengembangan usaha Pangan Segar untuk memenuhi persyaratan teknis
minimal Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.
(3) Penerapan standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan Segar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap sesuai dengan
jenis Pangan Segar serta jenis dan/atau skala usaha.
12. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 91
(1) Dalam hal pengawasan keamanan, mutu, dan Gizi, setiap
Pangan Olahan yang dibuat di dalam negeri atau yang diimpor untuk
diperdagangkan dalam kemasan eceran, Pelaku Usaha Pangan wajib memenuhi
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap produk Pangan Olahan tertentu yang
diproduksi oleh Usaha Mikro dan Kecil.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 132 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 132
(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di
bidang pangan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan
penyidikan tindak pidana.
(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan
dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak
pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga
melakukan tindak pidana;
f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik
terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti
adanya tindak pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya
tindak pidana;
j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang
digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang
dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana;
l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara tindak pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau
instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku.
(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan
Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil terentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan,
melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada
aparat penegak hukum.
14. Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 133
(1) Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau
menyimpan melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan
maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga Pangan Pokok
menjadi mahal atau melambung tinggi, dikenai sanksi administratif berupa denda
paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Dalam hal Pelaku Usaha Pangan tidak memenuhi kewajiban
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
15. Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 134
(1) Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan
tertentu untuk diperdagangkan, yang dengan sengaja tidak menerapkan tata cara
pengolahan Pangan yang dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan
kandungan Gizi bahan baku Pangan yang digunakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Dalam hal pelaku tidak memenuhi kewajiban pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
16. Ketentuan Pasal 135 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 135
(1) Setiap Orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses
produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan yang tidak memenuhi
Persyaratan Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2),
dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah).
(2) Dalam hal pelaku tidak memenuhi kewajiban pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
17. Ketentuan Pasal 139 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 139
Setiap Orang yang dengan sengaja membuka kemasan akhir
Pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84 ayat (1) yang membahayakan kesehatan manusia dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
18. Ketentuan Pasal 140 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 140
Setiap Orang yang memproduksi dan memperdagangkan Pangan
yang dengan sengaja tidak memenuhi standar Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 86 ayat (2), yang membahayakan kesehatan manusia dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
19. Ketentuan Pasal 141 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 141
Setiap Orang yang dengan sengaja memperdagangkan Pangan yang
tidak sesuai dengan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan yang tercantum dalam label
Kemasan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, yang membahayakan kesehatan
manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda
paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
20. Ketentuan Pasal 142 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 142
(1) Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja tidak memiliki
Perizinan Berusaha terkait Pangan Olahan yang dibuat didalam negeri atau yang
diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 91 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah);
(2) Dalam hal setiap orang tidak memenuhi kewajiban
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar