Dalam
perjalanannya lebih kurang selama 27 tahun (1992 sampai 2019), ada beberapa isu
yang titik pangkalnya dialamatkan ke UU ini.
Satu, aspek perbenihan dan pemulia
petani.
UU ini juga menegaskan bahwa Pemerintah
berhak menetapkan jenis tumbuhan yang dibawa masuk dan keluar
dari wilayah Indonesia serta dapat melarang pengadaan,
peredaran, dan penanaman benih tanaman tertentu yang merugikan masyarakat,
budidaya tanaman, sumberdaya alam lainnya, dan/atau
lingkungan hidup. Setiap orang atau badan usaha yang berniat mengimpor atau
mengekspor benih harus mendapat izinPemerintah.
Selanjutnya mengenai
kepentingan petani, berbeda dengan PVT yang masih memberikan sedikit kesempatan
bagi petani untuk menggunakan benih dari varietas yang lindungi sepanjang tidak
untukkomersial, UU Paten tidak memberikan sedikitpun ruang bagi proses yang
telah dikembangkan olehpetani untuk dilindungi paten. UU ini pun tidak
memberikan kesempatan kepada petani untukmenggunakan proses yang sudah
dipatenkan meskipun untuk kepentingan yang tidak komersial. Dankarena proses
biologi yang esensial dan konvensional yang dilakukan dan dikembangkan oleh
petanitidak dapat dilindungi oleh paten, tidak hanya karena tidak memenuhi
syarat-syarat patentabilitasseperti kebaruan, dan mengandung langkah inventif,
tetapi karena berdasarkan UU, proses tersebutdikecualikan dari perlindungan
paten. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya UU Paten, sepertihalnya UU PVT
tidak dibuat untuk mengakomodasi kepentingan petani, tetapi kepentingan
industri.
Namun, ketentuan di atas
tidak berarti bahwa proses untuk pengembangan varietas secara konvensional yang
dilakukan oleh petani tidak bisa dikembangkan lagi. Petani masih punya hak, sebagaimana
sebelum adanya UU ini untuk menggunakan proses yang biasa mereka gunakan
untukpengembangan varietas. Namun, petani tidak boleh melanggar hak paten atau
meniru proses pembuatan tanaman dan hewan yang
dimiliki oleh industri perbenihan yang telah mendapatkan hakpaten atas proses
tersebut.
Tentang otoritas petani, satu hal penting
dalam UU ini adalah bahwa
petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan
pembudidayaannya. Namun,
kekebasan ini
memiliki sayarat, yakni harus diikuti
dengankewajiban petani untuk berperan serta dalam mendukung pelaksanaan program
pemerintah. Sebagai penyeimbangnya, kewajiban untuk petani tersebut
diimbangi dengan kewajiban pemerintah agar petani
tersebut mendapatkan jaminan penghasilan tertentu. Poin ini ada yang
mengartikan bahwa pada hakekatnya, hak-hak
petani untuk menentukan jenis tanaman yang akan ditaman di tanahnya sendiri
dibatasi.
Dua, aspek paten.
Persoalan benih utamanya berkaitan dengan perihal paten. Sama halnya dengan UU PVT, UU Paten di Indonesia
juga dikembangkan dengan semangat perjanjian TRIPs (Trade Related aspects of
Intellectual Property Rights) untuk memfasilitasiliberalisasi perdagangan
dunia dan untuk melindungi pemegang hak paten. Untuk kepentingantersebut
Indonesia telah merubah beberapa kali undang-undang paten. Perubahan yang
terakhir padatahun 2001, ketika muncul masalah masalah yang berkaitan dengan
sumber daya genetika dan pengetahuan tradisional. Namun sayangnya, UU paten
yang terakhir pun belum menjawab permasalahan tersebut.
Dikaitkan dengan PVT,
memang hak paten tidak memberikan perlindungan terhadap produk dalam hal ini
varietas yang berupa benih/bibit. Namun, paten memberikan perlindungan terhadap
proses untuk mengembangan varietas tersebut. Jadi tergantung klaimnya, jika klaimnya,
dalam artian yang ingin dilindungi adalah proses, maka bisa didaftarkan untuk mendapatkan
paten, tetapi jika yang ingin dilindungi adalah hasil dari proses itu yang
berupa varietas (benih) maka bisa didaftarkan untuk mendapatkan PVT.
Subyek perlindungan paten
di Indonesia adalah sama atau bahkan lebih liberal jika di bandingkan dengan
subyek perlindungan paten di negara-negara maju, seperti Eropa. Meskipun
makhluk hidup tidak dapat dipatenkan menurut UU paten Indonesia, tetapi mikroorganisme atau jasad renik bias dipatenkan.
Selanjutnya, masih belum jelas apakah gen tanaman, hewan dan manusia bias dipatenkan
berdasarkan UU Paten Indonesia.
Posisi Indonesia yang
memberikan definisi yang luas untuk jasad renik dianggap merefleksikan
kepentingan peneliti dan industri yang berbasis pada jasad renik, dan kurang
merefleksikan kepentingan petani kecil. Namun, berdasarkan UU paten,
proses-proses biologi yang esensial untuk pembuatan tanaman danhewan tidak
dapat dipatenkan di Indonesia. Sebaliknya, proses-proses non biologi atau
proses mikrobiologi dapat dipatenkan.
Tiga, Aspek Keberlanjutan.
UU SBT ditengarai ikut mendukung pertanian pola monokultur,
yang justru rawan serangan hama dan dan tidak berkelanjutan. Padahal, Pasal 2 menyebutkan “berkelanjutan” sebagai salah satu asas pertanian,
selain asas “manfaat” dan “lestari”. Akan tetapi asas berkelanjutan ini - juga
kedua asas yang lain - tidak dikonsepsikan dalam batang tubuhnya, padahal asas
adalah landasan pokok yang memandu pernyataan-pernyataan dalam semua pasal. Orang-orang
jadi bertanya: seberapa kuat sih itikad UU SBT terhadap ketiga azas tersebut? (Hal
ini ada benarnya, sehingga menjadi alasan lahirnya UU penggantinya yakni No 22
tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan).
Disamping lemah dalam hal pemuasannya, pasal-pasal tadi juga lemah dalam
hal pengajuannya yang tidak mengarah ke pengujudan sistem budidaya tanaman yang
berasas keterlanjutan. Dengan kata lain, pasal-pasal tersebut tidak berada
dalam bingkai konsep keterlanjutan. Malah ada beberapa pasal yang dapat
mendorong orang berbuat menjauhi hakekat keterlanjutan.
Pada
hakekatnya, sistem budidaya tanaman adalah sistem pengembangan dan pemanfaatan
sumberdaya alam nabati melalui upaya manusia yang dengan modal, teknologi, dan
sumberdaya lainnya menghasilkan barang guna memenuhi kebutuhan manusia secara
lebih baik. Oleh karena itu, sistem budidaya
tanaman akan dikembangkan berasaskan manfaat, lestari, dan berkelanjutan.
UU No 12 tahun 1992 tidak mengatur sistem budidaya tanaman semacam apa yang
hendak dikembangkan sehubungan dengan asas keterlanjutan.
Jika membaca Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Sistem budidaya tanaman adalah sistem pengembangan dan pemanfaatan
sumberdaya alam nabati melalui upaya manusia yang dengan modal, teknologi, dan
sumberdaya”; dapat menjurus kepada pemikiran bahwa hanya ada satu sistem
yang diterima yakni sistem budidaya tanaman yang mekanistik. Sistem ini tidak
bersangkut paut dengan budidaya dan gaya hidup (pertanian rakyat) atau dengan
pencarian nafkah bagi pekerjanya dan aspirasi ekonomi bagi pengusahanya
(pertanian perusahaan). Sempit sekali.
Mukadimah UURI 12/1992 yang seharusnya menjadi sumber asumsi bagi semua
pasal menjadi tidak berfungsi karena tidak terimplikasikan oleh rumusan pasal.
Pasal 2 berdiri terpencil, yang seharusnya berfungsi sebagai penggandeng
mukadimah dengan batang tubuh undang-undang. Disamping itu terlalu banyak
pengaturan yang dilimpahkan ke produk hukum yang berkedudukan lebih rendah
daripada undang-undang, keputusan menteri (Kepmen), atau peraturan menteri
(Permen). Ada 23 buah pasal atau ayatnya yang berbunyi “diatur lebih lanjut”.
Timbul persoalan kapan dan bagaimana mengaturnya. Dengan demikian UURI 12/1992
sebagaimana keadaanya sekarang tanpa dilengkapi dengan peraturan perundangan
penjabarannya, belum dapat mengatur dan mengendalikan sistem budidaya tanaman
menuju ke pematuhan asas lestari dan berkelanjutan. Barangkali sebaik-baik
kegunaannya baru sampai kepada pematuhan asas manfaat.
Mengingat kesamaran landasan berpijak dan sasaran UU RI 12/1992, pencantuman bab X tentang Keputusan Pidana sebetulnya tidak
pada tempatnya, terlalu tergesa-gesa.
Empat, aspek konversi lahan.
Dalam penerapannya, Undang-Undang tentang Sistem
Budidaya Tanaman banyak menimbulkan kendala, antara lain dalam Pasal 45 yang
masih memberikan peluang terjadinya perubahan peruntukkan atau konversi lahan
budidaya tanaman menjadi lahan untuk keperluan bukan budidaya tanaman. Pasal 45
dimaksud berbunyi: “Perubahan rencana tata ruang yang mengakibatkan perubahan peruntukan
budidaya tanaman guna keperluan lain dilakukan dengan memperhatikan
rencana produksi budidaya tanaman secara nasional”.
Lima, aspek peran serta masyarakat dan otonomi daerah.
Terdapat
kontradiksi antara dengan Pasal 5 huruf d Undang-Undang tentang Sistem Budidaya
Tanaman. Dalam Pasal Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 61 mengatur bahwa
sebelum diedarkan varietas baru hasil pemulihan tanaman maupun introduksi dari
luar negeri perlu dilakukan pengujian dan kemudian dilepas oleh Pemerintah. Hal
ini kontradiksi dengan ketentuan Pasal 5 huruf d Undang-Undang tentang Sistem
Budidaya Tanaman yang menyatakan bahwa pemerintah perlu memberikan peluang dan
kemudahan tertentu yang dapat mendorong masyarakat untuk berperan serta dalam
pengembangan budidaya tanaman.
Dengan lahirnya
beberapa undang-undang yang mengharuskan dibentuknya otonomi daerah, secara
fundamental akan menyusun ulang bentuk hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, misalnya Balai Pengawasan dan Sertifikasi Perbenihan (yang
selanjutnya disingkat menjadi BPSB), dan otoritas lokal dalam semua sektor,
termasuk sektor budidaya tanaman.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar