Rabu, 18 Maret 2020

Kelemahan UU SBT


Dalam Naskah Akademik untuk Rancangan Undang-Undang Tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan oleh Komisi IV DPR RI tahun 2017, sebagai pengganti UU SBT; disebutkan berbagai kelemahan UU SBT, yakni:

Pertama, judul dalam UU Sistem Budidaya Tanaman sudah tidak dapat mengakomodasi kebutuhan cakupan pertanian secara utuh. UU Sistem Budidaya Tanaman belum mengatur ketentuan budidaya pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan dalam suatu agroekosistem.

Kedua, adanya pergeseran paradigma sentralistik menjadi desentralistik yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemerintahan Daerah) turut memengaruhi paradigma kewenangan pengelolaan budidaya tanaman atau pertanian. Dalam lampiran UU Pemerintahan Daerah terdapat 6 (enam) hal yang perlu disesuaikan dalam pengelolaan budidaya tanaman atau pertanian mencakup sarana pertanian, prasarana pertanian, pengendalian dan penanggulangan bencana pertanian, perizinan usaha pertanian, karantina pertanian, dan varietas tanaman.

Ketiga, pengaturan dalam UU Sistem Budidaya Tanaman belum terlihat pengaturan mengenai strategi pembangunan pertanian pertanian berkelanjutan secara komprehensif dalam suatu sistem budidaya dalam rangka menjawab perubahan iklim global.

Keempat, dalam pelaksanaan UU Sistem Budidaya Tanaman masih terdapat pengaturan substansi yang merugikan keberadaan petani dan perlindungan varietas tanaman, misalnya hak untuk melakukan pemuliaan tanaman lokal. UU SBT berpotensi terhadap terjadinya kriminalisasi petani oleh perusahaan-perusahaan dengan dalih pelanggaran terhadap UU Sistem Budidaya Tanaman. Jadi, bukannya memberikan hak perlindungan kepada petani, justru memberikan banyak beban kewajiban bagi petani yang hendak melakukan budidaya benih.

UU SBT juga menegasikan dan memarjinalkan kebudayaan bercocok tanam petani. Pemerintah hanya mengejar aspek produksi, padahal pendekatan petani lebih holistik dan sustainable. Lemahnya akses dan ruang partisipasi bagi petani membuat kebijakan Sistem Budidaya Tanaman selama ini tidak memihak pada petani.

Cacat lain mislanya, belum diatur dengan jelas bagaimana mekanisme pembukaan dan pengelolaan lahan serta kaitannya dengan pengaturan dalam undang-undang terkait yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Terkait dengan perbenihan, belum diatur perlindungan varietas lokal terhadap varietas transgenik yang berasal dari luar negeri. Dalam penyelenggaraan budidaya tanaman, terkait dengan perlindungan tanaman UU Sistem Budidaya Tanaman masih berfokus pada sistem pengendalian hama terpadu, tidak memasukkan unsur penyakit dalam perlindungan tanaman. Mengingat penanganan dari hama dan penyakit dalam perlindungan tanaman memiliki dampak yang berbeda.

Terkait dengan kegiatan panen dan pasca panen, dalam UU Sistem Budidaya Tanaman ini belum secara tegas mengatur bagaimana peran Pemerintah dalam menangani gagal panen bagi para petani serta juga peran Pemerintah dalam mengatur rantai niaga yang lebih singkat dalam mendukung petani menjual produk pertaniannya. Kemudian untuk penyediaan sarana produksi, terdapat permasalahan dalam UU Sistem Budidaya Tanaman, di antaranya terkait dengan pupuk dan pestisida. Untuk pupuk, dalam UU ini belum diatur bagaimana pengaturan mengenai pola distribusi dan kuota penyebaran pupuk, selain itu belum diatur bagaimana pengaturan mengenai pupuk organik yang saat ini beredar di masyarakat. Sedangkan terkait dengan pengaturan pestisida, dalam UU Sistem Budidaya Tanaman ini belum diatur bagaimana pembedaan dan pengaturan mengenai herbisida dan fungisida yang juga saat ini telah beredar di masyarakat.

Kelima, beberapa substansi pelaksanaan UU Sistem Budidaya Tanaman telah diajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Dalam hasil Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU-X/2012 dinyatakan bahwa Pasal 9 ayat (3) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk perorangan petani kecil”; selanjutnya Pasal 12 ayat (1) juga dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk perorangan petani kecil dalam negeri”.

Tahun 2005  ada 14 petani yang ditangkap dan diadili karena melanggar UU No 12 tahun 1992.  Ditangkapnya petani tersebut terkait dengan kegiatan petani yang melakukan pemuliaan benih di lahannya sendiri kemudian menjual ke petani lain dalam bentuk curah (tanpa label). Sejumlah petani pemulia tanaman pangan, jagung, di Jawa Timur mesti berurusan dengan aparat kepolisian atas tuduhan telah melakukan sertifikasi liar.

Dari kacamata pemeirntah, UU SBT sesungguhnya mengakomodir kebutuhan petani. Pengembangan budidaya tanaman dapat dilakukan secara optimal dengan menggunakan teknologi yang tepat. UU ini menekan pemerintah untuk menjalankan penelitian untuk mengembangkan budidaya tanaman guna membantu petani.


*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar