Dalam Naskah Akademik untuk Rancangan Undang-Undang
Tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan oleh Komisi IV DPR RI tahun
2017, sebagai pengganti UU SBT; disebutkan berbagai kelemahan UU SBT, yakni:
Pertama, judul dalam UU Sistem Budidaya Tanaman
sudah tidak dapat mengakomodasi kebutuhan cakupan pertanian secara utuh. UU
Sistem Budidaya Tanaman belum mengatur ketentuan budidaya pertanian yang
mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan dalam
suatu agroekosistem.
Kedua, adanya pergeseran paradigma sentralistik
menjadi desentralistik yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemerintahan Daerah) turut memengaruhi
paradigma kewenangan pengelolaan budidaya tanaman atau pertanian. Dalam
lampiran UU Pemerintahan Daerah terdapat 6 (enam) hal yang perlu disesuaikan
dalam pengelolaan budidaya tanaman atau pertanian mencakup sarana pertanian,
prasarana pertanian, pengendalian dan penanggulangan bencana pertanian,
perizinan usaha pertanian, karantina pertanian, dan varietas tanaman.
Ketiga, pengaturan dalam UU Sistem Budidaya Tanaman
belum terlihat pengaturan mengenai strategi pembangunan pertanian pertanian
berkelanjutan secara komprehensif dalam suatu sistem budidaya dalam rangka
menjawab perubahan iklim global.
Keempat, dalam pelaksanaan UU Sistem Budidaya
Tanaman masih terdapat pengaturan substansi yang merugikan keberadaan petani
dan perlindungan varietas tanaman, misalnya hak untuk melakukan pemuliaan
tanaman lokal. UU SBT berpotensi terhadap terjadinya kriminalisasi petani oleh
perusahaan-perusahaan dengan dalih pelanggaran terhadap UU Sistem Budidaya
Tanaman. Jadi, bukannya memberikan hak perlindungan kepada petani, justru
memberikan banyak beban kewajiban bagi petani yang hendak melakukan budidaya
benih.
UU
SBT juga
menegasikan dan memarjinalkan kebudayaan bercocok tanam petani. Pemerintah
hanya mengejar aspek produksi, padahal pendekatan petani lebih holistik dan sustainable. Lemahnya akses
dan ruang partisipasi bagi petani membuat kebijakan Sistem Budidaya Tanaman
selama ini tidak memihak pada petani.
Cacat lain mislanya, belum diatur dengan
jelas bagaimana mekanisme pembukaan dan pengelolaan lahan serta kaitannya
dengan pengaturan dalam undang-undang terkait yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. Terkait dengan perbenihan, belum diatur perlindungan varietas
lokal terhadap varietas transgenik yang berasal dari luar negeri. Dalam
penyelenggaraan budidaya tanaman, terkait dengan perlindungan tanaman UU Sistem
Budidaya Tanaman masih berfokus pada sistem pengendalian hama terpadu, tidak
memasukkan unsur penyakit dalam perlindungan tanaman. Mengingat penanganan dari
hama dan penyakit dalam perlindungan tanaman memiliki dampak yang berbeda.
Terkait dengan kegiatan panen dan pasca
panen, dalam UU Sistem Budidaya Tanaman ini belum secara tegas mengatur
bagaimana peran Pemerintah dalam menangani gagal panen bagi para petani serta
juga peran Pemerintah dalam mengatur rantai niaga yang lebih singkat dalam
mendukung petani menjual produk pertaniannya. Kemudian untuk penyediaan sarana
produksi, terdapat permasalahan dalam UU Sistem Budidaya Tanaman, di antaranya
terkait dengan pupuk dan pestisida. Untuk pupuk, dalam UU ini belum diatur
bagaimana pengaturan mengenai pola distribusi dan kuota penyebaran pupuk,
selain itu belum diatur bagaimana pengaturan mengenai pupuk organik yang saat
ini beredar di masyarakat. Sedangkan terkait dengan pengaturan pestisida, dalam
UU Sistem Budidaya Tanaman ini belum diatur bagaimana pembedaan dan pengaturan
mengenai herbisida dan fungisida yang juga saat ini telah beredar di
masyarakat.
Kelima, beberapa
substansi pelaksanaan UU Sistem Budidaya Tanaman telah diajukan permohonan judicial
review ke Mahkamah Konstitusi. Dalam hasil Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
99/PUU-X/2012 dinyatakan bahwa Pasal 9 ayat (3) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk perorangan
petani kecil”; selanjutnya Pasal 12 ayat (1) juga dinyatakan bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk
perorangan petani kecil dalam negeri”.
Tahun
2005 ada 14 petani yang ditangkap dan
diadili karena melanggar UU No 12 tahun 1992. Ditangkapnya petani tersebut terkait
dengan kegiatan petani yang melakukan pemuliaan benih di lahannya sendiri
kemudian menjual ke petani lain dalam bentuk curah (tanpa label). Sejumlah petani pemulia tanaman
pangan, jagung, di Jawa Timur mesti berurusan dengan aparat kepolisian atas
tuduhan telah melakukan sertifikasi liar.
Dari kacamata pemeirntah, UU SBT sesungguhnya mengakomodir kebutuhan petani. Pengembangan budidaya tanaman dapat dilakukan secara optimal dengan menggunakan teknologi yang tepat. UU ini menekan pemerintah untuk menjalankan penelitian untuk mengembangkan budidaya tanaman guna membantu petani.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar