Namun, UU SBT ini kurang mempertimbangkan atau menegasikan
adanya benih yang dikembangkan secara konvensional oleh
petani. Aturan
ini menutup kemungkinan bagi
petani untuk bisa menggunakan benih yang mereka kembangkan
sendiri. Selanjutnya, sistem ini jugamenutup kemungkinan bagi petani yang
biasanya menjual, mengedarkan, atau membagi benihnyakepada teman sesama petani,
karena harus memenuhi persyaratan yang sangat susah dipenuhi olehpetani.
Karena itulah, pada tahun 2005 ada 14 petani yang ditangkap dan diadili
karena melanggar UU No 12 tahun 1992. Ditangkapnya petani tersebut terkait dengan kegiatan petani yang
melakukan pemuliaan benih di lahannya sendiri kemudian menjual ke petani lain
dalam bentuk curah (tanpa label). Sejumlah petani pemulia tanaman pangan, jagung, di Jawa Timur
mesti berurusan dengan aparat kepolisian atas tuduhan telah melakukan
sertifikasi liar.
Berkenaan dengan halangan ini, maka pada tahun 2005 ada
14 petani yang ditangkap dan diadili karena melakukan pemuliaan benih di
lahannya sendiri kemudian menjual ke petani lain dalam bentuk curah
(tanpa label). Meskipun “setiap orang atau badan hukum dapat melakukan pemuliaan tanaman untuk
menemukan varietas unggul” (pasal 11), namun pasal 12, 13, 14 menimbulkan permasalahan bagi petani kecil. Bagian ini menyulitkan petani kecil dan menguntungkan perusahaan besar sehingga dapat memonopoli perdagangan dan peredaran benih di Indonesia.
Mahkamah
Konstitusi melalui Putusan No.99/PUU-X/2012 akhirnya mengabulkan gugatan
pemohon yang mewakili suara petani kecil. MK membatalkan Pasal 5,6,9, 12, dan
60 UU SBT. Pemohon
mengajukan gugatan terhadap UU SBT dan UU PVT karena telah mempersempit dan
menghalangi kesempatan bagi petani untuk berperan serta dalam pengembangan
budidaya tanaman. Regulasi ini dinilai telah mengabaikan tradisi
turun-temurun petani sebagai pemulia tanaman, dan telah sengaja memisahkan
antara petani dengan aktivitasnya sebagai pemulia tanaman. Semangat
undang-undang lebih memfasilitasi industri benih untuk memonopoli perbenihan.
Melalui putusannya, MK mengabulkan sebagian
dari permohonan, yaitu pasal 9 ayat 3 dan pasal 12 ayat 1. Putusan menyatakan
adanya pengecualian bagi perorangan petani kecil. Dengan putusan ini maka
perorangan petani kecil dapat melakukan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah
tanpa harus izin pemerintah terlebih dahulu serta mengedarkan varietas hasil
pemuliaan petani dalam negeri tanpa terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah.
Sesuai putusan MK, frasa “perorangan”
dalam Pasal 9 ayat (3) Sistem Budidaya Tanaman tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk perorangan petani
kecil”. Pasal ini sebelumnya berbunyi, “Kegiatan pencarian dan
pengumpulan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilakukan
oleh perorangan atau badan hukum berdasarkan izin.” Pasal yang baru
berbunyi: “Kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), dapat dilakukan oleh perorangan atau badan hukum
berdasarkan izin kecuali untuk perorangan petani kecil”.
Jadi, kegiatan pencarian dan pengumpulan
plasma nutfah yang dilakukan oleh perorangan petani kecil dibolehkan. Artinya, tidak perlu izin bagi perorangan
petani kecil yang melakukan kegiatan berupa pencarian dan pengumpulan plasma
nutfah untuk dirinya maupun komunitasnya sendiri.
Begitupula terhadap ketentuan Pasal 12 ayat
(1) yang sebelumnya melarang diedarkannya hasil pemuliaan atau introduksi dari
luar negeri sebelum dilepas oleh Pemerintah. Khusus varietas hasil pemuliaan
dalam negeri yang dilakukan oleh perorangan petani kecil, dibolehkan. Pasal 12 ayat (1) yang baru berbunyi: “Varietas
hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih
dahulu dilepas oleh Pemerintah kecuali hasil pemuliaan oleh perorangan petani
kecil dalam negeri”.
Selain mendiskriminasi petani, UU SBT juga
menimbulkan ketidakpastian hukum. Jika mengacu pada UU nomor 4/2006 tentang
pengesahan perjanjian mengenai sumberdaya genetik tanaman untuk pangan dan
pertanian, hak-hak petani jelas ada di dalamnya. Seharusnya hak petani dalam UU
SBT ataupun UU nomor 29/2000 tentang Pemuliaan Varietas Tanaman (PVT) merujuk
ke nomor 4/2006. Karena tidak merujuk ke sana, seolah-olah ada dua
undang-undang: UU SBT dan UU nomor 4/2006.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar