29 September 2014 –
UU baru (UU No 39 tahun 2014 tentang Perkebunan) telah disahkan hari ini
dalam sidang paripurna DPR. RUU ini menjawab uji materi pasal-pasal dalam UU Perkebunan
sebelumnya yang dianggap tak memiliki ikatan hukum yang jelas. RUU Perkebunan
yang sekarang memperjelas kedudukan hukum para pelaku usaha dan pekebun dalam
menjalankan industri perkebunan.
RUU ini adalah tindak lanjut atas putusan MK terhadap uji materi pasal 21 dan pasal 47 UU No 18 Tahun 2004 tentang perkebunan yang menyatakan bahwa masyarakat tak boleh memasuki kawasan perkebunan karena takut mengganggu aktivitas perkebunan. Hal ini dirasa oleh DPR menyalahi aturan UUD 1945 karena seharusnya masyarakat berhak masuk area perkebunan asal tak mendirikan industri lain di sana. Jadi, dua pasal itu dihilangkan.
RUU ini adalah tindak lanjut atas putusan MK terhadap uji materi pasal 21 dan pasal 47 UU No 18 Tahun 2004 tentang perkebunan yang menyatakan bahwa masyarakat tak boleh memasuki kawasan perkebunan karena takut mengganggu aktivitas perkebunan. Hal ini dirasa oleh DPR menyalahi aturan UUD 1945 karena seharusnya masyarakat berhak masuk area perkebunan asal tak mendirikan industri lain di sana. Jadi, dua pasal itu dihilangkan.
Perkebunan baru
menambahkan dua pasal baru yang memperkuat kedudukan pelaku usaha dan penanam
modal di industri perkebunan. Pasal tersebut adalah pasal 95 dalam Bab XIII
tentang penanaman modal dan pasal 115 dalam Bab XVIII tentang ketentuan
peralihan atas izin usaha perkebunan. DPR membatasi batasan 30 persen, namun
pastinya akan diatur dalam peraturan pemerintah.
UU baru lebih melindungi petani pekebun rakyat, dan agar terciptanya kemandirian, keberhasilan, kearifan lokal, pelestarian
lingkungan, efisiensi dan perlindungan kepada petani. Dengan peraturan ini,
tidak sebatas faktor lingkungan alam, melainkan lingkungan sosial yang ada di
dalamnya diperhatikan juga.
Ada 12 perbedaan isi antara UU No.18/2004 dengan UU No.39/2014 yaitu,
pengertian umum, asas (serta tujuan dan ruang lingkup), penggunaan lahan,
perbenihan, budidaya tanaman perkebunan, usaha perkebunan, pengolahan dan
pemasaran hasil perkebunan, sistem data dan informasi, pembiayaan usaha
perkebunan, penanaman modal, peran serta masyarakat, dan ketentuan peralihan.
Hal baru dalam UU baru ini adalah pasal 16, dimana perusahaan perkebunan wajib mengusahakan lahan sebesar 30% dari luas hak
atas tanah paling lambat tiga tahun setelah pemberian hak atas tanah dan paling
lambat pada tahun keenam wajib mengusahakan semuanya. Jika dilanggar bidang
tanah perkebunan yang belum diusahakan diambil alih negara.
Mengenai perbenihan, dalam UU terbaru diatur pemanfaatan dan pelestarian
sumber daya genetik tanaman perkebunan, pemasukan dan pengeluaran benih,
penemuan varietas unggul, pemuliaan dan pelepasan varietas unggul, produksi
benih, sertifikasi benih, peredaran dan pelabelan benih.
Izin usaha perkebunan pun harus sesuai dengan syarat yang telah
ditetapkan. Syarat-syaratnya adalah izin lingkungan, kesesuaian dengan rencana
tata ruang wilayah, kesesuaian dengan rencana perkebunan, harus ada izin usaha
budidaya (sarana, prasarana, sistem dan sarana pengendalian OPT), dan memenuhi
sekurang-kurangnya 20% dari keseluruhan bahan baku yang dibutuhkan berasal dari
kebun yang diusahakan sendiri (izin usaha pengolahan). Setelah syarat dipenuhi,
baru dapat dikeluarkan izinnya. Yang mengeluarkan izin adalah gubernur,
bupati/walikota atau Menteri Pertanian.
Selain izin, perusahaan perkebunan yang telah mempunyai IUP atau IUP-B wajib
memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20%
dari total luas areal kebun yang diusahakan perusahaan tersebut. Selain itu
harus ada pola kredit, bagi hasil atau bentuk pendanaan lain yang disepakati
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lambat 3 tahun sejak hak
guna usaha diberikan.
Selain
mengutamakan permodalan dalam negeri,
dalam UU ini peran
serta masyarakat sekitarnya akan lebih
besar.
17 Oktober 2014 –
Lahirnya UU Perkebunan baru, yakni UU No 39 tahun 2014, yakni 10 tahun
setelah UU yang lama. UU Perkebunan yang
baru dikeluarkan tanggal 17 Oktober 2014. Ini hanya beberapa hari menjelang
berakhirnya masa jabatan anggota DPR Periode 2009-2014. UU ini lahir tidak
terlepas dari kemenangan petani dalam Judisial Review di mahkamah konstitusi
tahun 2011. Petani tersebut menjadi korban pasal 21 UU Perkebunan no 18 tahun
2004. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 55/PUU-VIII/20102011 membatalkan Pasal
21 dan Pasal 47 tersebut karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
17 February 2015 -
Sejumlah NGO dan LSM yang berfokus pada isu lingkungan dan anggaran
melakukan konferensi pers si Jakarta. Dinyatakan bahwa UU Perkebunan yang baru masih jauh dari harapan yang dapat memperbaiki sistem perkebunan dan
perlindungan petani kecil serta tidak mampu menjawab tantangan kerusakan
lingkungan yang lebih baik.
Permasalahan Konstitusional UU ini antara lain:
Pasal 12 dan 13 UU Perkebunan berpotensi melanggar hak masyarakat adat
karena mengatur musyawarah dengan masyarakat adat pemegang hak ulayat yang tanahnya
akan dipergunakan untuk usaha perkebunan harus sesuai dengan peraturan
perundangan dan masyarakat adat ditetapkan dengan peraturan perundangan. Pengakuan terhadap masyarakat adat seharusnya berupa penghormatan
terhadap hukum adat yang telah mengatur bagaimana musyawarah harus dilakukan.
Konsep antara penetapan dan pengakuan mestinya dibedakan.
Kemudian Pasal 27, Pasal 29, dan Pasal 30 UU Perkebunan
juga berpotensi melanggar hak petani pemulia benih karena mewajibkan izin dalam
pencarian sumberdaya genetik dan pengembangan benih. Padahal putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) dalam perkara pengujian Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman
telah menyatakan pengaturan seperti tersebut tidak boleh diperlakukan untuk
pertanian keluarga skala kecil
Pasal 55 berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum
karena tidak jelas siapa yang tidak sah mengerjakan lahan perkebunan. Sanksi
diberikan kepada perusahaan yang tidak punya izin, tapi tidak bagi yang tidak
punya Hak Guna Usaha (HGU), padahal izin bukanlah hak atas tanah. UU mengatur
masa penyesuaian satu tahun untuk
perusahaan penanaman dalam negeri dan hingga HGU berakhir untuk penanaman modal
asing. Namun, jika terjadi sengketa tanah, siapa yang disebut sah dan tidak
sah?
28
Agustus 2015 -
Tiga orang petani kebun mengajukan permohonan judicial review UU No. 39
Tahun 2014 tentang Perkebunan ke MK. Permohonan pengujian Perkara Nomor 122/PUU-XIII/2015 menjadi harapan
terakhir bagi para petani dan masyarakat adat untuk melindungi dirinya dan
keluarganya dari kesewenang-wenangan penguasa dan perusahaan. Mereka berharap MK mampu menjaga hak asasi masyarakat petani dan masyarakat adat sebagai
hak konstitusional dan hak hukum setiap warga Negara.
27
Oktober 2015 –
Gugatan terhadap UU baru. Beberapa organsiasi
mendaftarkan Judicial Review di MK terhadap UU baru ini. Mereka adalah Serikat Petani Kelapa Sawit
(SPKS), Sawit Watch (SW), Indonesian Human Rights Committee for Social Justice
(IHCS), Sekretariat Bina Desa, Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani
Indonesia (API), Farmer Initiatives for Ecological Livelihood and Democracy
(Field).
Koalisi Tim Advokasi Keadilan Perkebunan melakukan uji materi (judicial review) terhadap
12 pasal dalam Undang-Undang No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Penggugat
ditarbelakangi keyakinan bahwa UU ini sebagai penyebab pembukaan lahan yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kelapa sawit.
Beberapa pasal yang di atur dalam UU
Perkebunan baru ini dinilai inkonsttutional dan berpotensi terjadinya
pelanggaran Hak Asasi Manusia khususnya bagi petani dan masyarakat adat serta
berpotensi terjadinya kekuasaan koorporasi dalam usaha perkebunan. Harapannya
adalah agar transformasi di sektor perkebunan kelapa sawit dapat berjalan lebih
berkeadilan, mewujudkan kemandirian dan keberpihakan kepada petani dan sesuai
dengan semangat UUD 45.
Beberapa pasal yg dinilai
inkonstitusional, antara lainadanya penghilangan hak-hak masyarakat adat atas
penguasaan tanah atau diskriminasi terhadap pranata hukum masyarakat adat.
Musyawarah dengan Masyarakat Adat tidak seharusnya diatur dalam peraturan
perundangan (Pasal 12 Ayat 2), karena hukum masyarakat adat telah mengaturnya.
UU Perkebunan, jelas merujuk pada legislasi dan regulasi, bukan hukum
Masyarakat Adat yang seharusnya negara memberikan pengakuan terhadap masyarakat
adat berserta hukum adat mereka;
Diyakini ada pelanggaran terhadap
konstitusi, dimana penetapan masyarakat adat dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur pada Pasal 13 UU Perkebunan. Hal ini
bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 dalam
perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
sebelumnya. Keberadaan Masyarakat Adat tidak melalui penetapan oleh negara atau
Pemerintah/Pemda, dan peraturan perundangan tidak seharusnya menetapkan
Masyarakat Adat tetapi memberi pengakuan, penghormatan, perlindungan dan
pemenuhan hak-hak masyarakat adat.
Pelanggaran konstitusi terkait hak
petani dalam budidaya pemulian tanaman yaitu: tidak diakomodirnya perorangan
petani kecil dalam pemuliaan tanaman perkebunan, tidak memberikan hak kepada
perorangan petani kecil untuk melakukan pemuliaan tanaman dalam rangka untuk
memperoleh varietas atau benih unggul, serta adanya upaya menghalangi peredaran
bagi hasil pemuliaan yang dilakukan perorangan petani kecil. Ini ada dalam
Pasal 27 Ayat (3), Pasal 29 dan Pasal 30 Ayat (1).
UU baru ini dinilai tidak memberikan
jaminan kepastian hukum terkait legalitas perusahan dalam menjalankan usaha
perkebunan. Pasal 42 mengatur bahwa Perusahan perkebunan dapat mulai melakukan
usaha perkebunan dan/atau usaha pengolahan hasil perkebunan, dengan alas hak
atas tanah/HGU atau hanya dengan sekedar memperoleh Izin Usaha Perkebunan. Hal
tersebut berbeda substansi pengaturannya dengan ketentuan Pasal 16 UU. Mestinya legalitas perusahan untuk melakukan
usaha perkebunan adalah setelah memiliki Izin Usaha Perkebunan dan Hak Guna
Usaha. Harus keduanya sekaligus.
Pasal 42 ini berpotensi menimbulkan
ketidakpastian hukum hak atas tanah dan berpotensi menimbulkan kerugian negara
sehingga sebesar besar Kemakmuran Rakyat tidak bisa terwujud. Artinya, pasal 42
ini bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.
26 November 2015 -
Rupanya UU baru
masih mengandung masalah, khususnya berkenaan dengan masyarakat adat. Pasal kriminalisasi kembali mengancam para petani dan masyarakat yang
hidup di sekitar lokasi perkebunan. Pasal itu dihidupkan kembali dalam Pasal 55
huruf a, c, dan d juncto Pasal 107 huruf a, c, dan d. Menurut satu pihak, pasal-pasal ini tidak lebih merupakan replika dari Pasal 21 dan Pasal 47 UU lama yang
telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam
Putusan Nomor 55/PUU-VIII/2010.
“Pasal kriminalisasi” ini menambah
daftar masalah yang muncul akibat disahkannya UU Perkebunan baru. Seorang petani asal Aceh Tamiang, telah dijadikan tersangka ketika bersengketa dengan perusahaan perkebunan sawit PT.
Rapala dengan menggunakan Pasal 55 huruf a jo. Pasal 107
huruf a.
Ketentuan lain yang dianggap bermasalah adalah Pasal 12 Ayat (1) yang
berbunyi; “Dalam hal Tanah yang diperlukan untuk Usaha Perkebunan merupakan
Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pelaku Usaha Perkebunan harus melakukan
musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat pemegang Hak Ulayat untuk memperoleh
persetujuan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya”. Pasal ini dianggap
telah memberikan ketidaksetaraan posisi antara Masyarakat Hukum Adat dengan perusahaan. Ketentuan untuk “melakukan musyawarah untuk memperoleh
persetujuan tanah dan imbalannya” tidak memberikan pilihan kepada masyarakat
selain menyerahkan tanahnya.
Apalagi dengan dipergunakannya istilah “imbalan” yang semakin
memperlihatkan lemahnya posisi masyarakat. Hal ini tentunya bertentangan dengan
jaminan kepastian hukum dan penghormatan terhadap Masyarakat Hukum Adat yang
diatur dalam Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945.
22 Jun 2016 -
UU Perkebunan sudah cukup lindungi semua kepentingan. Pemerintah maupun
DPR menilai Undang-Undang (UU) No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan sudah
cukup sebagai acuan untuk tata kelola perkebunan saat ini. Sebab UU ini telah
mengakomodir kepentingan semua elemen masyarakat, baik masyarakat adat, petani,
maupun perusahaan. Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan
(FP2SB) mengatakan dalam UU Perkebunan sudah mengakomodir semua kepentingan di
sektor perkebunan.
14 December 2018 -
Kalangan pengusaha
mengkritik UU 39 tahun 2014. UU ini mewajibkan setiap perusahaan perkebunan
memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20
persen dari total luas areal kebun yang diusahakan, (Pasal 58, 59 dan 60). Implementasinya
dinilai sulit karena masih adanya ketidakpastian hukum, kerancuan dan
multitafsir bagi para perusahaan, Gubernur dan Bupati/Walikota serta pemangku
kepentingan lainnya.
Penyebabnya adalah
pengaturan dalam regulasi dan kebijakan yang masih inkonsisten, mekanisme
pelaksanaannya belum diatur secara jelas dan tegas, dan perhitungan 20 persen
masih belum jelas, apaah berdasarkan dari luasan areal berdasarkan IUP atau HGU
atau areal tertanam.
Menurut pemerintah,
Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang moratorium sawit bisa menjadi
acuan pendataan lahan perkebunan sawit. Inpres bakal mempercepat pelaksanaan
aturan melalui harmonisasi yang kontradiktif satu sama lain. Menurut Ditjenbun,
porsi 20 persen yang dimintakan kepada pengusaha sawit adalah di luar HGU yang
sudah dimiliki. Artinya, pengusaha harus menambah 20 persen kepemilikan lahan
untuk diberikan kepada petani rakyat. Kewajiban ini harus dilaksanakan dalam
jangka waktu paling lambat tiga tahun sejak HGU diberikan.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar