Senin, 23 Maret 2020

Kronologis Implementasi UU Peternakan (2009-2017)


4 Juni 2009 –
Undang-Undang No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) diundangkan tanggal 4 Juni 2009 yang ditandatangani Presiden SBY. UU ini terdiri dari 15 bab dan 99 pasal.

11 Agustus 2009 –
Dalam tempo hanya 2 bulan segera setelah UU 18 - 2009 diundangkan, tanggal 11 Agustus 2009 keluar Kepmentan Nomor 3026/kpts/PD 620/8/2009 tentang Persetujuan Pemasukan Daging Tanpa Tulang (deboned meat) dari Brasil. Padahal Brazil masih terjangkit penyakit mulut dan kuku (PMK). Ini menunjukkan keinginnan besar pemerintah untuk melakukan impor daging sapi murah, bahkan dari negara yang belum bebas penyakit zoonosis berbahaya.

12 November 2009 -
Muncul gugatan atas UU 18 tahun 2009. UU ini dalam pelaksanaannya dinilai telah memperluas kebijakan impor daging masuknya impor daging sapi dari Brazil, Australia, Argentina, Selandia Baru yang berimplikasi langsung menekan pendapatan peternak. Harga daging yang rendah tidak menarik bagi peternak. Pemerintah beralasan kebijakan impor daging ini untuk menjaga stabilitas harga

Padahal, tahun 2010 sudah dicanangkan sebagai program swasembada daging sapi. Berangkat dari posisi sekitar 30 persen kebutuhan daging sapi nasional dipenuhi dari impor, ditargetkan di tahun 2010  kebutuhan daging sapi nasional dapat dipenuhi sedikit-dikitnya 90 persen dari pasokan daging sapi lokal. Populasi sapi kita rendah. Rasio sapi dengan penduduk cuma 0,049 ekor per orang, jauh dari rasio di Brasil misalnya yang 1,75 ekor per orang.

25 Feb 2010 -
Mahkamah Konstitusi menggelar sidang guguatan UU 18 tahun 2009.  Ini merespon  gugatan Perkumpulan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia beserta Perkumpulan Institute for Global Justice (IGJ) dan lain-lain yang mengajukan permohonan terhadap UU Nomor 18 Tahun 2009. Obyek gugatan ialah pasal yang mengatur tentang zone base dalam mengimpor daging pada Pasal 59.  Gugatannya adalah dari zona menjadi negara. Selengkapnya pengujian diajukan untuk Pasal 44 ayat (3), Pasal 59 ayat (2), (4), dan Pasal 68 ayat (4)

27 Agustus 2010 -
MK mengabulkan gugatan mengenai dihapusnya ketentuan impor produk hewan berbasis zona. Artinya, MK mengembalikan ketentuan impor produk hewan berbasis negara.
Dalam amar putusannya, MK menilai frasa "Unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona" dalam Pasal 59 ayat (2); frasa "Atau kaidah internasional" dalam Pasal 59 ayat (4), kata "dapat" dalam Pasal 68 ayat (4) UU 18 tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945.
Gugatan sebelumnya diajukan oleh banyak pihak pada 2009 lalu, yaitu Perkumpulan Institute For Global Justice (IGJ), Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (WAMTI), Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), dan beberapa peternak.

Gugatan yang tidak diterima adalah Pasal 44 ayat (3) mengenai kompensasi bila dilakukan tindakan depopulasi. Para penggugat menilai ketentuan ini menunjukan Pemerintah tidak bertanggung jawab atas kerugian akibat ketidakmampuannya mengendalikan penyakit hewan menular berbahaya dan mengabaikan hak rakyat/Pemohon/peternak atas ganti rugi yang merupakan hak tindakan depopulasi.

Namun, menurut hakim, depopulasi merupakan tindakan Pemerintah untuk mencegah penularan penyakit hewan terhadap hewan yang masih sehat, bahkan untuk menghindari penularan kepada manusia. Tindakan Pemerintah seperti itu adalah dalam rangka melindungi hewan, masyarakat Indonesia, serta kesehatan masyarakat Indonesia. Toh tanpa depopulasi juga, hewan-hewan tersebut akan mati juga, bahkan lebih bahaya.  Lagian kompensasi tetap ada sesuai Pasal 44 ayat (4), yaitu:  “Pemerintah memberikan kompensasi bagi hewan sehat yang berdasarkan pedoman pemberantasan wabah penyakit hewan harus didepopulasi”."


17 Oktober 2014 -
Atas inisiatif DPR, UU ini kembali diusulkan dengan point utama pro pada “berbasis zona”, sehingga  keluar UU Nomor 41 Tahun 2014. 

9 Juni 2015 -

Kontroversial UU 41/2014 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. UU ini, merupakan revisi atas UU No. 18/2009 tentang PKH, sesuai  Judicial Review oleh MK Nomor 137/PUU-VII/2009.
Namun, kontroversi mengiringinya sejak UU 41 ini diproses diproses dan disahkan oleh DPR. Mungkin penyebabnya karena tidak dilengkapi dengan kajian akademik yang mendalam dan komprehensif. Proses pembahasannya tidak melibatkan para pemangku kepentingan yang sama dengan yang merumuskan UU awalnya (UU 18/2009). UU 41 ini kelahirannya di penghujung berakhirnya masa jabatan anggota DPR dan pemerintahan SBY, terburu-buru. Kejar setoran.

Dalam Putusan MK Nomor 129/PUU-XIII/2015 dinyatakan ketentuan Pasal 36E ayat (1) UU No 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bertentangan secara bersyarat dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam putusan tersebut.

Kok sapi siap potong diimpor? Menteri Perdagangan mengeluarkan izin impor triwulan II bagi sapi bakalan sebanyak 250.000 ekor. Untuk lebih mengantisipasi agar harga daging sapi tidak melonjak tajam pemerintah telah menerbitkan pula izin impor sebanyak 29.000 ekor sapi siap potong.
Kebijakan ini jelas melanggar UU No. 41/2014, dimana pasal 36B ayat 2 menyatakan bahwa pemasukan ternak ke dalam negeri harus merupakan bakalan, bukannya sapi siap potong. Masih ada nilai tambah dari penggemukan, lumayan untuk ekonomi dalam negeri.
Pada UU No. 41/2014 Pasal 36C,  berbunyi:  “pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya”.
Pasal ini jelas melawan keputusan judicial review MK tahun 2009. Memang ada beda sedikit, yakni antara “komoditi produk hewan” dengan “ternak ruminansia indukan”. Intinya menurut yang kontra, “zona yang aman” belum menjamin. Yang diminta area yang lebih luas yaitu “negara yang aman”
Kontroversi lain ada pada Pasal 36B ayat 5 yaitu:  “bahwa setiap orang yang memasukkan bakalan dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan penggemukan di dalam negeri untuk memperoleh nilai tambah dalam jangka waktu paling cepat 4 (empat) bulan sejak dilakukan tindakan karantina berupa pelepasan”.  Kewajiban 4 bulan ini dinilai terlalu pendek. Pemerintah seolah tidak menghendaki usaha peternakan dalam negeri berkembang.

Kebijakan zona base bisa diterapkan sepanjang pemerintah melakukan tahapan yang sesuai dengan saran Tim Analisa Resiko Independen (TARI) yang ditunjuk pemerintah di tahun 2008 lalu.  
Zona base dapat diterima apabila syarat ini dipenuhi yaitu:

1.   Perlu dilakukan analisis akademik silang terhadap resiko dan manfaat dari zona base maupun country base.
2.   Adanya kesiapan sumberdaya manusia, sarana dan prasarana serta sistem kesehatan hewan yang mampu mendukung program mitigasinya
3.   Kelayakan ekonomi finansial ditinjau dari biaya transportasi, loading dan unloading, karantina, pengawasan, dan lainnya
4.   Faktor keamanan yaitu jaminan terhadap lalu lintas keluar masuk wilayah/trace ability secara berkeberlanjutan, termasuk perangkat SPS dan ALOP (acceptable level of protection) untuk penyakit mulut dan kuku (PMK)
5.   Ketersediaan dana tanggap darurat siap pakai, jika terjadi outbreak PMK, serta peningkatan kemampuan surveilan dan pelimpahan wewenang surveilan PMK dari Pusvetma di Surabaya ke laboratorium veteriner regional (BPPV/BB Vet) di seluruh Indonesia.

19 Oktober 2015 -
Kementerian Pertanian berencana merevisi undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH). UU tersebut dinilai terlalu multitafsir dan tidak berorientasi pada pengembangan aktivitas bisnis. UU No 41 Tahun 2014 kerap menjadi instrumen tarik-menarik kepentingan dan kerap menghambat kinerja pelaku usaha sektor peternakan.

Sarat kepentingan dan sudah tidak relevan dengan semangat implementasi Masyarakat Ekonomi Asean [MEA].  UU Peternakan harus disusun sedemikian rupa sehingga tidak sifatnya mendukung kegiatan ekonomi baik yang sudah ada maupun yang akan berjalan.

Karena tak terima dengan keputusan MK, kembali diajukan gugatan. Gugatan pertama yang telah dikabulkan seharusnya final and binding, namun DPR ternyata masih bisa menggoyang nya. Komisi IV DPR kala itu tetap berinisiatif mengusulkan perubahan terhadap impor zona daging.

Keluar keputusan MK Nomor 129/PUU-XIII/2015, bahwa Pasal 36E ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.  Pasal tersebut dihapus, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi.

16 Maret 2016 -
Sidang MK agenda sidang perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 mendengarkan keterangan Pemerintah.  Menurut Ditjend PKH,  Pemohon belum mencermati secara utuh frasa “unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona” yang telah dinyatakan bertentangan dalam Putusan Nomor 137/2009 tersebut. “Meskipun terdapat kata ‘zona’ dalam frasa tersebut, kata ‘zona’ itu tidak boleh dimaknai secara tekstual tersendiri. Kata ‘zona’ dimaksud harus dimaknai secara kontekstual sebagai satu kesatuan utuh dengan frasa unit usaha produk hewan. Dengan demikian, tidak benar Undang-Undang a quo didalikan sebagai menghidupkan kembali sistem zona.

Point lain, bahwa virus PMK tidak dapat secara mudah menular, apalagi membahayakan kehidupan manusia. Penularan virus PMK pada ternak hanya menimbulkan tingkat kematian pada ternak muda berkisar 20%.  Brazil yang belum bebas PMK toh tetap hidup usaha peternakannya.

Lalu, dalil Pemohon bahwa dengan pemberlakuan sistem zona, maka Indonesia akan dimanfaatkan oleh beberapa negara  yang mempunyai zona bebas sebagai pintu keluar bagi daging-daging murah dari zona yang belum bebas PMK; hanyalah suatu asumsi dan tidak berdasar secara hukum.

15 Juli 2016 -
Presiden Joko Widodo menyetujui revisi UU 41 tahun 2014 serta Permentan No 58 tahun 2015 tentang Pemasukan karkas, Daging, dan/atau olahannya ke Dalam Wilayah Negara RI. Presiden menilai kedua beleid tersebut telah mengakibatkan harga daging sapi di pasaran menjadi lebih mahal. Kata Presiden, banyak peraturan yang tidak masuk akal misalnya larangan impor sapi siap potong. Presiden juga mempertanyakan alasan dilarangnya jeroan sapi karean dianggap berasal dari ternak sapi yang sakit. 

Ya, UU No 41 tahun 2014 memang melarang sapi siap potong. Yang boleh diimpor hanyalah sapi bakalan. Sapi ini harus digemukkan terlebih dahulu sebelum dipotong. Sehingga masih ada nilai tambah untuk ekonomi dalam negeri. Dan juga, masih bisa diklaim sebagai "produksi daging dalam negeri"  

Awalnya, UU tersebut dibuat agar harga daging sapi lebih murah dan terjangkau untuk masyarakat. Karena harga sapi bakalan lebih murah dari sapi siap potong. Tujuan lainnya, untuk membuka lapangan pekerjaan sehingga ada nilai tambah bagi masyarakat. Tetapi yang terjadi terbalik, maka  diusulkan UU ini direvisi.

Larangan impor daging secondary cut juga dicabut. Daging-daging tersebut diimpor hanya untuk area Jabodetabek yang memang kebutuhannya terhadap daging sapi sangat tinggi. Sedangkan untuk daerah lain, seperti NTB dan NTT, tidak akan dimasuki daging impor ini karena di sana banyak peternak sapi lokal.

26 Januari 2017 -
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar disangka menerima suap sebesar 20.000 dollar Amerika Serikat dan 200.000 dollar Singapura dari importir daging. Suap tersebut terkait uji materi UU Nomor 41 tahun 2014

Dari penjelasan KPK, seorang importir yang konon memiliki 20 perusahaan impor daging, ingin agar uji materi tersebut dikabulkan MK. Ia melakukan pendekatan terhadap Patrialis agar bisnis impor daging mereka lancar. Patrialis menyanggupi akan membantu agar uji materi dapat dikabulkan oleh MK.

27 Januari  2017 -
Masih masalah “zona based vs country based”, UU 41 Tahun 2014 diajukan ke MK. Putusan terhadap judicial review UU Nomor 41 Tahun 2014 tersebut belum keluar.

Hakim konstitusi Patrialis Akbar ditangkap KPK karena menerima suap terkait judicial review UU tersebut. KPK menangkap doi karena menerima fee sebesar 200 ribu dollar Singapura untuk memuluskan Judicial Review Undang-undang Nomor 14 Tahun 2016 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Tentu saja putusan yang diimpikan adalah yang “pro pada zona”.

Asosiasi peternak menggugat UU Nomor 41 tahun 2014. Dewan Peternakan Nasional sebagai koordinator penggugat, menggugat karena membolehkan impor sapi bakalan maupun daging berdasarkan zone based. Sistem zone based memperbolehkan impor sapi atau kerbau dari dari negara yang belum bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), namun dengan sejumlah persyaratan.

Aturan ini lebih longgar dari sebelumnya, yakni country based yang hanya membuka impor dari negara-negara yang sudah terbebas dari PMK seperti Australia dan Selandia Baru. Impor daging atau sapi dari negara zona based dikhawatirkan bisa memicu wabah penyakit pada hewan ternak lokal. PMK adalah satu penyakit yang paling dikhawatirkan peternak. Sejak tahun 1986, Indonesia dinyatakan sudah terbebas dari PMK.

7 Pebruari 2017 -
Pembacaan amar putusan MK Nomor 129/PUU-XIII/2015, bahwa pasal 36 E ayat 1 Undang-undang (UU) Nomor 41 tahun 2014 dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945.
Maka, pemasukan ternak dan atau produk hewan dari luar negeri ke dalam wilayah NKRI, khususnya yang berasal dari zona dalam suatu negara, harus didasarkan pada syarat keamanan maksimum, untuk melindungi hak hidup dan kelangsungan kegiatan perekonomian.
Persyaratan yang tercantum dalam putusan MK tersebut adalah:

1.   Setiap impor produk hewan haruslah memiliki sertifikat bebas PMK dari badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh otoritas veteriner dari negara asal dan Indonesia.
2.   Impor produk hewan harus dilakukan dalam hal tertentu. Pengertian "dalam hal tertentu" adalah keadaan mendesak, antara lain, akibat bencana, saat masyarakat membutuhkan pasokan ternak dan atau produk hewan. Tanpa terpenuhinya syarat tersebut, pemasukan produk hewan dari zona dalam suatu negara atau dengan sistem zona ke dalam wilayah NKRI adalah inkonstitusional.

Artinya, importir berbasis zona diperbolehkan dengan prinsip maksimum security.  Boleh dari zona based namun harus penuh kehati-hatian dan keamanan maksimal

8 Februari 2017 -
Mahkamah Konstitusi menolak hampir sebagian uji materi pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014. Dari empat pasal yang diuji materi hanya satu pasal yang dikabulkan bersyarat oleh MK, yaitu Pasal 36E ayat 1. Tiga pasal lainnya Pasal 36 C ayat 1, Pasal 36C ayat 3, Pasal 36D ayat 1, ditolak.

Pasal 36E ayat 1  UU 41 tahun 2014 dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 45. Dengan ini, Indonesia hanya diperbolehkan mengimpor daging dan ternak jika dalam keadaan mendesak. Artinya MK mendukung standar maksimum security bagi importasi hewan dan ternak Indonesia

Kata MK, negara boleh mengimpor daging hanya kerika negara punya pulau karantina dan negara asal mencukupi standar kesehatan dunia dan otoritas veteriner Indonesia sudah jadi dan pernyataan dari otoritas veteriner dari negara asal bahwa (daging dan ternak) sehat. Indonesia juga boleh mengimpor daging dengan syarat dalam keadaan mendesak, seperti bencana alam. Kalau tidak dalam keadaan mendesak, Indoensia tidak boleh mengimpor (daging) dari zona manapun. Artinya pula, Indonesia tidak boleh mengimpor jika tidak mendesak

*****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar