Selasa, 24 Maret 2020

Tujuan dan Ruh UU


Tujuan dari UU ini adalah untuk mendorong penyelenggaraan perkebunan yang mampu meningkatkan produksi, produktivitas dan daya saing, meningkatkan sumber devisa negara serta kesejahteraan rakyat.  Fokus utama dari UU ini adalah pengaturan penyelenggaraan perkebunan pada era paradigma yang dinamik, menangani sengketa  lahan perkebunan, pembatasan penanaman modal asing, kewajiban membangun dan menyiapkan sarana dan prasarana serta perijinan usaha.

Beberapa hal penting dari UU ini adalah: (a) pengaturan tentang pemanfaatan lahan untuk perkebunan melemahkan posisi komunitas adat dalam mempertahankan hak ulayat; (b) mengatur perlindungan tanaman  dari OPT, tapi sama sekali tidak mengatur perlindungan tanaman dari gangguan lain yang berdampak signifikan terhadap penurunan produksi (perubahan iklim, kebakaran dan bencana alam lain); (c) pelaksanaan usaha budi daya tanaman perkebunan secara terintegrasi dengan unit pengolahan hasil, dengan budi daya ternak,  agrowisata dan usaha lainnya; (d) pengaturan usaha pengolahan hasil yang mengharuskan pengusaha memenuhi sekurang-kurangnya 20% bahan baku dari kebun sendiri perlu dipertinjau ulang, karena mengurangi kesempatan pengusaha pengolahan yang tidak memiliki kebun; (e) melindungi, memperkaya dan mengembangkan sumber daya genetik dalam negeri namun kurang membahas terkaitannya dengan  karantina pertanian.

Secara substansial, UU No 39 Tahun 2014 cukup detail dan komprehensif memuat pengaturan legal  meliputi perencanaan, penggunaan lahan, budi daya tanaman perkebunan dari hulu hingga hilir, termasuk sub sistem pendukung  dalam pengembangan usaha perkebunan. Fokus utama UU ini adalah pengaturan penyelenggaraan perkebunan pada era paradigma yang dinamik, menangani konflik atau sengketa  lahan perkebunan, pembatasan penanaman modal asing, kewajiban membangun dan menyiapkan sarana dan prasarana perkebunan serta perijinan usaha perkebunan. Tujuannya agar penyelenggaraan perkebunan mampu meningkatkan produksi, produktivitas dan daya saing, meningkatkan sumber devisa negara serta kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.  Produksi perkebunan diarahkan dalam rangka memenuhi  kebutuhan konsumsi serta bahan baku industri dalam negeri. UU juga memuat perijinan dan pengaturan pemanfaatan lahan untuk perkebunan, termasuk lahan milik ulayat masyarakat lokal  dalam rangka mencegah tumpang tindih penggunaan dan sengketa lahan, penertiban tata ruang wilayah untuk perkebunan dan mengatasi maraknya lahan terlantar. 

Meski demikian, ditingkat lapangan, penerapan UU Pasal 12 ayat 1 masih sering menimbulkan masalah karena dinilai melemahkan posisi komunitas adat dalam mempertahankan tanah ulayatnya.  Konflik lahan perkebunan dan teknik budidaya seringkali menjadi salah satu hambatan dalam perdagangan komoditas perkebunan yang berorientasi ekspor.

UU Perkebunan bersifat melindungi, memperkaya dan mengembangkan sumber daya genetik dalam negeri namun kurang membahas terkaitannya dengan  karantina. Pasal 24 mencoba mengatur tentang jenis tanaman perkebunanyang masuk ke Indonesia namun kurang mengkaitkannya dengan proses karantinan.  Hal itu kemungkinan disebabkan produk perkebunan secara umum berorientasi ekspor dengan basis pembibitan dan sumberdaya genetik lokal. Ke depan disarankan untuk memperhatikan hal itu, agar bila ada pelaku perkebunanbermaksud memasukkan  bibit atau produk mentah perkebunan dari luar negeri atau membawanya antar daerah lebih terawasi dari kemungkinan membawa penyakit yang bisa membahayakan populasi perkebunan di dalam negeri atau suatu daerah.  Perkembangan organism penggangu di dalam negeri seperti kasus kakao yang cepat menyebar antar daerah, kemungkinan akibat lemahnya pengaturan distribusi dan lalu lintas bibit di dalam negeri.

UU ini memberi peluang perolehan benih bermutu untuk pengembangan budi daya melalui kegiatan penemuan varietas unggul dan introduksi dari luar negeri atas ijin pemerintah.  Orientasi produksi perkebunan sebagian besar untuk ekspor sehingga pengaturan lalu lintas benih dan atau tanaman lebih dominan dan ketat pada masuk dan tidak mengatur keluar.  Pengaturan pada pasal 26 sampai pasal 30 memberi ruang penting dalam perbenihan dalam rangka mendukung pengembangan budi daya perkebunan.

Persoalan yang cukup serius saat ini dalam perkebunan Indonesia khususnya kelapa sawit adalah masalah replanting.  Sekalipun tersedia bibit yang baik dari hasil penelitian dan pemuliaan yang diinisiasi pemerintah, namun kurang didukung oleh pembiayaan perkebunan, sehingga pekebun rakyat cenderung membiarkan tanaman tuanya tetap berproduksi karena tidak mampu membeli dan membiayai proses

UU Perkebunan baru ini mengatur perlindungan tanaman khususnya dari organisme pengganggu tanaman, tapi sama sekali tidak mengatur perlindungan tanaman dari penyebab lain yang relatif banyak terjadi dan signifikan dalam penurunan produksi maupun luas lahan seperti dampak perubahan iklim, koflik perkebunan maupun bencana kebakaran dan bencana alam lain. 

Sektor perkebunan sangat menarik sebagai ladang investasi.  Ada upaya konstitusi untuk mendahulukan investor domestik dan perkebunan rakyat dengan membatasi investor asing melalui pengaturan sistem kerjasama dan persyaratan lain yang lebih tegas (Pasal 39 dan Pasal 40).

Guna meningkatkan nilai tambah dan menekan rantai pasar, UU membuka peluang pelaksanaan usaha budi daya tanaman perkebunan secara terintegrasi dengan unit pengolahan hasil atau budi daya ternak dan dilaksanakan diversifikasi berupa agrowisata dan usaha lainnya sebagai usaha pokok.  Pengaturan usaha pengolahan hasil perkebunan yang mengharuskan pekebun/pengusaha memenuhi sekurang-kurangnya 20% bahan baku dari kebun sendiri perlu dipertimbangkan, mengingat perkebunan di Indonesia masih didominasi perkebunan rakyat (Pasal 58). 

Dari sisi pekebun, penghapusan keharusan 20% di atas dinilai bisa membuka kesempatan bagi investor pengolahan yang tidak memiliki kebun, meningkatkan peluang pasar produksi perkebunan rakyat, merangsang gairah peningkatan sistem produksi perkebunan   karena keterjaminan pasar pengolahan serta peluang membangun kemitraan.   Kondisi ini berpotensi menciptakan sistem kemitraan karena adanya saling ketergantungan antara pelaku produksi dengan pengolahan, serta kondusif untuk menciptakan harga produksi bahan mentah yang lebih kompetitif.

UU membagi berbagai kewenangan dan kewajiban bagi pemerintah dan pelaku perkebunan.  Beberapa kewajiban perusahaan perkebunan yang penting sebagai aturan standar usaha perkebunan meliputi: (1) Penetapan batasan luas dan waktu serta prosentase pengusahaan lahan perkebunan (pasal 14-16); (2) Peraturan tentang penggunaan tanah  ulayat untuk usaha perkebunan (pasal 17); (3)  Bekerjasama dengan pemerintah dalam pengembangan perbenihan (pasal 20); (4) Tertib tata cara  pengolahan lahan dan sistem budi daya yang ramah lingkungan (pasal 32) serta melakukan perlindungan tanaman (pasal 33-35); (5) Persyaratan perizinan melakukan pengolahan (pasal 42, 43 dan 45); (6) Keharusan mengembangkan perkebunan dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial budaya dan ekologi agar tercipta penyelenggaraan yang berkelanjutan (pasal 62); (7) Kewajiban untuk membangun sarana dan prasarana    dalam kawasan perkebunan (pasal 69);dan (7) Pembatasan penanaman moal asing (pasal 95);

Permasalahan implementasi

UU Perkebunan yang menginginkan pengelolaan perkebunan dari subsistem ke agroindustri telah menimbulkan persoalan baru, karena orientasi pengembangan perkebunan pada perkebunan-perkebunan besar, baik berupa BUMN atau swasta (termasuk didalamnya PMA). Perkembangan nya cenderung liar dan tak terkontrol. Semenjak adanya Undang-Undang Otonomi Daerah, konflik perkebunan makin banyak, umumnya karena para kepala daerah diberi kewenangan penuh untuk mengatur wilayahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan penuh tersebut seringkali disalahgunakan untuk memberi izin secara mudah kepada pemilik perusahan yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi lahan-lahan perkebunan yang ada.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar