Tujuan dari UU ini adalah untuk mendorong penyelenggaraan perkebunan
yang mampu meningkatkan produksi, produktivitas dan daya saing, meningkatkan
sumber devisa negara serta kesejahteraan rakyat. Fokus utama dari UU ini adalah pengaturan
penyelenggaraan perkebunan pada era paradigma yang dinamik, menangani
sengketa lahan perkebunan, pembatasan
penanaman modal asing, kewajiban membangun dan menyiapkan sarana dan prasarana
serta perijinan usaha.
Beberapa hal penting dari UU ini adalah: (a) pengaturan tentang
pemanfaatan lahan untuk perkebunan melemahkan posisi komunitas adat dalam
mempertahankan hak ulayat; (b) mengatur perlindungan tanaman dari OPT, tapi sama sekali tidak mengatur perlindungan tanaman dari
gangguan lain yang berdampak signifikan terhadap penurunan produksi (perubahan
iklim, kebakaran dan bencana alam lain); (c) pelaksanaan usaha budi daya
tanaman perkebunan secara terintegrasi dengan unit pengolahan hasil, dengan
budi daya ternak, agrowisata dan usaha
lainnya; (d) pengaturan usaha pengolahan hasil yang mengharuskan pengusaha
memenuhi sekurang-kurangnya 20% bahan baku dari kebun sendiri perlu dipertinjau
ulang, karena mengurangi kesempatan pengusaha pengolahan yang tidak memiliki
kebun; (e) melindungi, memperkaya dan mengembangkan sumber daya genetik dalam
negeri namun kurang membahas terkaitannya dengan karantina pertanian.
Secara substansial, UU No 39 Tahun 2014 cukup detail dan komprehensif
memuat pengaturan legal meliputi
perencanaan, penggunaan lahan, budi daya tanaman perkebunan dari hulu hingga
hilir, termasuk sub sistem pendukung
dalam pengembangan usaha perkebunan. Fokus utama UU ini adalah
pengaturan penyelenggaraan perkebunan pada era paradigma yang dinamik,
menangani konflik atau sengketa lahan
perkebunan, pembatasan penanaman modal asing, kewajiban membangun dan
menyiapkan sarana dan prasarana perkebunan serta perijinan usaha perkebunan. Tujuannya
agar penyelenggaraan perkebunan mampu meningkatkan produksi, produktivitas dan
daya saing, meningkatkan sumber devisa negara serta kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Produksi perkebunan
diarahkan dalam rangka memenuhi
kebutuhan konsumsi serta bahan baku industri dalam negeri. UU juga
memuat perijinan dan pengaturan pemanfaatan lahan untuk perkebunan, termasuk
lahan milik ulayat masyarakat lokal
dalam rangka mencegah tumpang tindih penggunaan dan sengketa lahan,
penertiban tata ruang wilayah untuk perkebunan dan mengatasi maraknya lahan
terlantar.
Meski demikian, ditingkat lapangan, penerapan UU Pasal 12 ayat 1 masih
sering menimbulkan masalah karena dinilai melemahkan posisi komunitas adat
dalam mempertahankan tanah ulayatnya.
Konflik lahan perkebunan dan teknik budidaya seringkali menjadi salah
satu hambatan dalam perdagangan komoditas perkebunan yang berorientasi ekspor.
UU Perkebunan bersifat melindungi, memperkaya dan
mengembangkan sumber daya genetik dalam negeri namun kurang membahas terkaitannya
dengan karantina. Pasal 24 mencoba
mengatur tentang jenis tanaman perkebunanyang masuk ke Indonesia namun kurang
mengkaitkannya dengan proses karantinan.
Hal itu kemungkinan disebabkan produk perkebunan secara umum
berorientasi ekspor dengan basis pembibitan dan sumberdaya genetik lokal. Ke
depan disarankan untuk memperhatikan hal itu, agar bila ada pelaku
perkebunanbermaksud memasukkan bibit
atau produk mentah perkebunan dari luar negeri atau membawanya antar daerah
lebih terawasi dari kemungkinan membawa penyakit yang bisa membahayakan
populasi perkebunan di dalam negeri atau suatu daerah. Perkembangan organism penggangu di dalam
negeri seperti kasus kakao yang cepat menyebar antar daerah, kemungkinan akibat
lemahnya pengaturan distribusi dan lalu lintas bibit di dalam negeri.
UU ini memberi peluang perolehan benih bermutu
untuk pengembangan budi daya melalui kegiatan penemuan varietas unggul dan
introduksi dari luar negeri atas ijin pemerintah. Orientasi produksi perkebunan sebagian besar
untuk ekspor sehingga pengaturan lalu lintas benih dan atau tanaman lebih
dominan dan ketat pada masuk dan tidak mengatur keluar. Pengaturan pada pasal 26 sampai pasal 30
memberi ruang penting dalam perbenihan dalam rangka mendukung pengembangan budi
daya perkebunan.
Persoalan yang cukup serius saat ini dalam
perkebunan Indonesia khususnya kelapa sawit adalah masalah replanting. Sekalipun tersedia bibit yang baik dari hasil
penelitian dan pemuliaan yang diinisiasi pemerintah, namun kurang didukung oleh
pembiayaan perkebunan, sehingga pekebun rakyat cenderung membiarkan tanaman
tuanya tetap berproduksi karena tidak mampu membeli dan membiayai proses
UU Perkebunan baru ini mengatur perlindungan
tanaman khususnya dari organisme pengganggu tanaman, tapi sama sekali tidak mengatur perlindungan tanaman dari
penyebab lain yang relatif banyak terjadi dan signifikan dalam penurunan
produksi maupun luas lahan seperti dampak perubahan iklim, koflik perkebunan
maupun bencana kebakaran dan bencana alam lain.
Sektor perkebunan sangat menarik sebagai ladang investasi. Ada upaya konstitusi untuk mendahulukan
investor domestik dan perkebunan rakyat dengan membatasi investor asing melalui
pengaturan sistem kerjasama dan persyaratan lain yang lebih tegas (Pasal 39 dan
Pasal 40).
Guna meningkatkan nilai tambah dan menekan rantai pasar, UU membuka
peluang pelaksanaan usaha budi daya tanaman perkebunan secara terintegrasi
dengan unit pengolahan hasil
atau budi daya ternak dan dilaksanakan diversifikasi berupa agrowisata dan usaha
lainnya sebagai usaha pokok. Pengaturan
usaha pengolahan hasil perkebunan yang mengharuskan pekebun/pengusaha memenuhi
sekurang-kurangnya 20% bahan baku dari kebun sendiri perlu dipertimbangkan,
mengingat perkebunan di Indonesia masih didominasi perkebunan rakyat (Pasal
58).
Dari sisi pekebun, penghapusan
keharusan 20% di atas dinilai bisa membuka kesempatan bagi investor pengolahan
yang tidak memiliki kebun, meningkatkan peluang pasar produksi perkebunan
rakyat, merangsang gairah peningkatan sistem produksi perkebunan karena keterjaminan pasar pengolahan serta
peluang membangun kemitraan. Kondisi
ini berpotensi menciptakan sistem kemitraan karena adanya saling ketergantungan
antara pelaku produksi dengan pengolahan, serta kondusif untuk menciptakan
harga produksi bahan mentah yang lebih kompetitif.
UU membagi berbagai kewenangan dan kewajiban bagi pemerintah dan pelaku
perkebunan. Beberapa kewajiban
perusahaan perkebunan yang penting sebagai aturan standar usaha perkebunan
meliputi: (1) Penetapan batasan luas dan waktu serta prosentase pengusahaan
lahan perkebunan (pasal 14-16); (2) Peraturan tentang penggunaan tanah ulayat untuk usaha perkebunan (pasal 17);
(3) Bekerjasama dengan pemerintah dalam
pengembangan perbenihan (pasal 20); (4) Tertib tata cara pengolahan lahan dan sistem budi daya yang
ramah lingkungan (pasal 32) serta melakukan perlindungan tanaman (pasal 33-35);
(5) Persyaratan perizinan melakukan pengolahan (pasal 42, 43 dan 45); (6)
Keharusan mengembangkan perkebunan dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial
budaya dan ekologi agar tercipta penyelenggaraan yang berkelanjutan (pasal 62);
(7) Kewajiban untuk membangun sarana dan prasarana dalam kawasan perkebunan (pasal 69);dan (7)
Pembatasan penanaman moal asing (pasal 95);
Permasalahan implementasi
UU Perkebunan yang menginginkan
pengelolaan perkebunan dari subsistem ke agroindustri telah menimbulkan
persoalan baru, karena orientasi pengembangan perkebunan pada
perkebunan-perkebunan besar, baik berupa BUMN atau swasta (termasuk didalamnya
PMA). Perkembangan nya cenderung liar dan tak terkontrol. Semenjak adanya
Undang-Undang Otonomi Daerah, konflik perkebunan makin banyak, umumnya karena
para kepala daerah diberi kewenangan penuh untuk mengatur wilayahnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan penuh tersebut
seringkali disalahgunakan untuk memberi izin secara mudah kepada
pemilik perusahan yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi
lahan-lahan perkebunan yang ada.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar