Pada hakekatnya, UU
Perkebunan merupakan bagian dari aspek hukum sumberdaya alam atau agraria.
Dalam kedudukannya sebagai subsistem, UU Perkebunan dituntut mengandung
konsistensi baik tujuan yang hendak dicapai maupun substansi ketentuannya
dengan UU Sektoral lainnya di bidang Sumberdaya Alam yaitu UU Pokok Agraria, UU
Kehutanan, UU Pertambangan, UU Penataan Ruang, UU Pengelolaan Kawasan Pesisir
dan Laut, dan UU Sumberdaya Air. Sebagai sistem, UU Perkebunan harus mempunyai
tujuan khususnya sendiri dan substansi ketentuan yang mampu mendukung
tercapainya kepentingan yang menjadi tujuannya.
Tujuan khusus UU
Perkebunan harus sejalan dan memberikan dukungan terhadap tujuan pengelolaan
sumberdaya agraria sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI
1945 yaitu sebesar-besar kemakmuran rakyat.
UU ini menjamin bahwa
kegiatan usaha perkebunan diselenggarakan dengan tujuan meningkatkan pendapatan
masyarakat; penerimaan negara; penerimaan devisa negara; menyediakan lapangan kerja;
meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing; memenuhi kebutuhan
konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri; dan mengoptimalkan pengelolaan
sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Masalah
Dalam
perjalanannya, ada dua pasal dari UU ini yang menuai masalah yaitu Pasal 21 dan
Pasal 47. Dari pihak penggugat dikatakan bawah ketentuan di pasal-pasal ini
tidak mencerminkan aturan yang jelas, tidak mudah dipahami, dan sulit
dilaksanakan secara adil. Rumusan delik pemidanaan dalam pasal-pasal tersebut
berpotensi disalahgunakan secara sewenang-wenang. Maka, ini merupakan bentuk
pelanggaran atas konsep negara hukum, di mana mestinya "a legal system in which rules are clear, wellunderstood, and
fairly enforced". Mesti ada unsur kepastian hukum di dalamnya, dan
sekaligus mengandung asas legalitas, prediktibilitas, dan transparansi.
Dalam implementasinya,
permasalahan klasik perkebunan masih belum bisa terjawab, yakni tradisi
pengembangan tanaman perkebunan masyarakat tani Indonesia yang masih dilakukan
secara subsistem. Perkebunan skala besar masih menempatkan masyarakat sebagai
pekerja dan bukan mitra kerja. Sehingga, kebijakan
pembangunan perkebunan yang terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi ini, akan
berdampak pada lahirnya kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan dan konfik
tanah di hampir wilayah perkebunan besar diseluruh Indonesia.
Maka model kemitraan,
akses pasar, dan berbagai masalah lain menjadi bukti bahwa UU Perkebunan
mendesak untuk direvisi.
Aturan Turunannya: kewajiban kebun untuk plasma 20%
Permentan No. 26 - 2007 Pasal 11 menyatakan bahwa perusahaan perkebunan
yang memiliki IUP atau IUP B wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar
paling rendah 20%. Dengan demikian, terbitnya Permentan ini memberlakukan
kewajiban pembangunan kebun minimal 20% bagi seluruh perusahaan perkebunan
setelah tahun 2007.
Ini disambut oleh Menteri
Kehutanan dengan mengeluarkan keputusan Nomor P.17/Menhut-Ii/2011 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-Ii/2010 tentang
Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi, bahwa tidak
akan memberikan Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH) kepada PBS yang tidak
menyediakan plasma minimal 20 persen kepada masyarakat.
Permentan ini kemudian digantikan dengan Permentan No. 98 - 2013, Pasal
15 dan 40 (1) huruf f dan g, dimana perusahaan perkebunan berkewajiban memfasilitasi
pembangunan kebun masyarakat sekitar perkebunan dengan luasan paling kurang 20%
dan melakukan kemitraan. Bagi perusahaan perkebunan yang sudah memiliki HGU
sebelum tahun 2007 tetap diwajibkan bermitra dengan masyarakat berdasarkan UU
No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 74, melalui tanggung jawab
sosial dan lingkungan (corporate social
responsibility).
Pada 27 Desember 2012, BPN RI menerbitkan Surat Edaran Kepala BPN RI No.
II/SE/XII/2012 tentang persyaratan membangun kebun untuk masyarakat sekitar
(kebun plasma) dan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (corporate
social responsibility) serta legalisir dokumen permohonan pelayanan
pertanahan. Dalam surat ini kembali dipertegas bahwa ketentuan dalam surat
edaran diberlakukan sebagai persyaratan bagi perusahaan perkebunan yang
mengajukan permohonan HGU, perpanjangan HGU dan pembaharuan HGU.
Kemitraan inti plasma, sesuai kesepakatan Kepala BPN RI dan Kementan,
merupakan salah satu konsep reforma agraria yang akan dikembangkan dalam rangka
landreform untuk tanah terlantar.
Tanah menurut Kepala BPN RI diberikan kepada petani, agar petani bisa
menguasai, tetapi pupuk dan distribusinya diserahkan kepada inti. Pemerintah
akan memfasilitasi akses petani terhadap sumber pendanaan, seperti bank dan
koperasi. Kemitraan yang dimaksud adalah
kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas
dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan
yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, Menengah dengan Usaha Besar (UU No 20 Tahun 2008). Pola kemitraan usaha
pertanian yang direkomendasikan adalah pola inti plasma, pola sub kontrak, pola
dagang umum, dan pola kerjasama operasional.
Namun, pada prakteknya tidak seluruh HGU yang telah diterbitkan semenjak
lahirnya Permentan 26/Permentan/OT.140/2/2007 melaksanakan pembangunan kebun
plasma. Tidak terealisasinya “janji” pembangunan kebun plasma salah satunya
menjadi pendorong konflik antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar