Selasa, 24 Maret 2020

UU Perkebunan lama (UU No 18 tahun 2004)


Pada hakekatnya, UU Perkebunan merupakan bagian dari aspek hukum sumberdaya alam atau agraria. Dalam kedudukannya sebagai subsistem, UU Perkebunan dituntut mengandung konsistensi baik tujuan yang hendak dicapai maupun substansi ketentuannya dengan UU Sektoral lainnya di bidang Sumberdaya Alam yaitu UU Pokok Agraria, UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Penataan Ruang, UU Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Laut, dan UU Sumberdaya Air. Sebagai sistem, UU Perkebunan harus mempunyai tujuan khususnya sendiri dan substansi ketentuan yang mampu mendukung tercapainya kepentingan yang menjadi tujuannya.
Tujuan khusus UU Perkebunan harus sejalan dan memberikan dukungan terhadap tujuan pengelolaan sumberdaya agraria sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI 1945 yaitu sebesar-besar kemakmuran rakyat.

UU ini menjamin bahwa kegiatan usaha perkebunan diselenggarakan dengan tujuan meningkatkan pendapatan masyarakat; penerimaan negara; penerimaan devisa negara; menyediakan lapangan kerja; meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing; memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri; dan mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan.

Masalah

Dalam perjalanannya, ada dua pasal dari UU ini yang menuai masalah yaitu Pasal 21 dan Pasal 47. Dari pihak penggugat dikatakan bawah ketentuan di pasal-pasal ini tidak mencerminkan aturan yang jelas, tidak mudah dipahami, dan sulit dilaksanakan secara adil. Rumusan delik pemidanaan dalam pasal-pasal tersebut berpotensi disalahgunakan secara sewenang-wenang. Maka, ini merupakan bentuk pelanggaran atas konsep negara hukum, di mana mestinya "a legal system in which rules are clear, wellunderstood, and fairly enforced". Mesti ada unsur kepastian hukum di dalamnya, dan sekaligus mengandung asas legalitas, prediktibilitas, dan transparansi.

Dalam implementasinya, permasalahan klasik perkebunan masih belum bisa terjawab, yakni tradisi pengembangan tanaman perkebunan masyarakat tani Indonesia yang masih dilakukan secara subsistem. Perkebunan skala besar masih menempatkan masyarakat sebagai pekerja dan bukan mitra kerja. Sehingga, kebijakan pembangunan perkebunan yang terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi ini, akan berdampak pada lahirnya kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan dan konfik tanah di hampir wilayah perkebunan besar diseluruh Indonesia.
Maka model kemitraan, akses pasar, dan berbagai masalah lain menjadi bukti bahwa UU Perkebunan mendesak untuk direvisi.

Aturan Turunannya: kewajiban kebun untuk plasma 20%

Permentan No. 26 - 2007 Pasal 11 menyatakan bahwa perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP B wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah 20%. Dengan demikian, terbitnya Permentan ini memberlakukan kewajiban pembangunan kebun minimal 20% bagi seluruh perusahaan perkebunan setelah tahun 2007.

Ini disambut oleh Menteri Kehutanan dengan mengeluarkan keputusan Nomor P.17/Menhut-Ii/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-Ii/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi, bahwa tidak akan memberikan Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH) kepada PBS yang tidak menyediakan plasma minimal 20 persen kepada masyarakat.

Permentan ini kemudian digantikan dengan Permentan No. 98 - 2013, Pasal 15 dan 40 (1) huruf f dan g, dimana perusahaan perkebunan berkewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar perkebunan dengan luasan paling kurang 20% dan melakukan kemitraan. Bagi perusahaan perkebunan yang sudah memiliki HGU sebelum tahun 2007 tetap diwajibkan bermitra dengan masyarakat berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 74, melalui tanggung jawab sosial dan lingkungan (corporate social responsibility).

Pada 27 Desember 2012, BPN RI menerbitkan Surat Edaran Kepala BPN RI No. II/SE/XII/2012 tentang persyaratan membangun kebun untuk masyarakat sekitar (kebun plasma) dan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan  (corporate social responsibility) serta legalisir dokumen permohonan pelayanan pertanahan. Dalam surat ini kembali dipertegas bahwa ketentuan dalam surat edaran diberlakukan sebagai persyaratan bagi perusahaan perkebunan yang mengajukan permohonan HGU, perpanjangan HGU dan pembaharuan HGU.

Kemitraan inti plasma, sesuai kesepakatan Kepala BPN RI dan Kementan, merupakan salah satu konsep reforma agraria yang akan dikembangkan dalam rangka landreform untuk tanah terlantar. Tanah menurut Kepala BPN RI diberikan kepada petani, agar petani bisa menguasai, tetapi pupuk dan distribusinya diserahkan kepada inti. Pemerintah akan memfasilitasi akses petani terhadap sumber pendanaan, seperti bank dan koperasi. Kemitraan yang dimaksud adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, Menengah dengan Usaha Besar (UU No 20 Tahun 2008). Pola kemitraan usaha pertanian yang direkomendasikan adalah pola inti plasma, pola sub kontrak, pola dagang umum, dan pola kerjasama operasional.

Namun, pada prakteknya tidak seluruh HGU yang telah diterbitkan semenjak lahirnya Permentan 26/Permentan/OT.140/2/2007 melaksanakan pembangunan kebun plasma. Tidak terealisasinya “janji” pembangunan kebun plasma salah satunya menjadi pendorong konflik antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat.
       
****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar