Sabtu, 21 Maret 2020

Pro Kontra pembatasn Investasi Asing


Dalam perjalanannya, keinginan pemerintah untuk memacu investasi di sektor hortikultura cenderung gagal. Amanat untuk membatasi investasi dan penguasaan kepemilikan modal asing (PMA) dalam usaha bidang hortikultura terbaca pada Pasal 100 ayat (3) dan Pasal 131 ayat (2). Penanaman modal asing dibatasi maksimum kepemilikan 30 persen di sektor usaha holtikultura, termasuk bidang usaha perbenihan. Sebenarnya, ketentuan batas maksimum kepemilikan modal asing ini jauh lebih ‘restriktif’ disbanding ketentuan yang berlaku pada saat itu, yang tertuang dalam Perpres No 36 tahun 2010.
  • Pasal 100 ayat 3: maksimal modal asing untuk usaha hortikultura adalah 30 persen
  • Pasal 131 ayat 2: “dalam waktu 4 tahun setelah penetapan UU No. 13/2010 atau paling lambat tahun 2014 investor asing yang sudah melakukan penanaman modal dan mendapatkan izin usaha hortikultura wajib mengalihkan atau menjual sahamnya kepada investor domestik sehingga kepemilikannya tinggal maksimal 30 persen.
Dalam perjalanannya, ketentuan ini telah mengundang pro-kontra.  Persyaratan kepemilikan modal asing maksimum 30% dan keharusan untuk melakukan divestasi ini pernah digugat ke MK untuk dilakukan uji materi. Pihak yang merasa dirugikan (Asosiasi perusahaan perbenihan dan petani binaannya)  telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 17 Februari 2014, meskipun akhirnya MK memutuskan menolak gugatan tersebut (19 Maret 2015).

Sebagaimana diamanatkan di dalam UU Hortikultura No 13 Tahun 2010 dan tertuang di dalam Perpres 39/2014, kepemilikan modal asing (PMA) dibatasi maskimal 30% dan keharusan divestasi bagi perusahaan PMA yang ada. UU No 13/2013 memicu kontroversi dan pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh beberapa pihak yang dirugikan yang dimotori oleh Asosiasi Perusahaan Benih Hortikultura Indonesia (APBHI atau Hortindo). Setelah melewati persidangan panjang, Mahkamah Konstitusi akhirnya menolak gugatan dan menyatakan UU Hortikultura 13/2010 tetap berlaku.

Aturan turunannya, berupa revisi Perpres DNI No 36/2010 ke Perpres No 39/2014 tidak mengalami perubahan, kecuali perubahan yang terkait dengan batas maksimal kepemilikan modal asing di bidang usaha hortikultura. Kepemilikan asing untuk usaha hortikultura dari yang semula tidak diatur secara khusus dalam Perpres 36/2010 menjadi maksimal 30% dalam Perpres 39/2014, sesuai dengan amanat UU Hortikultura. Lalu, dalam Perpres No 36/2010 bidang usaha hortikultura juga tidak diatur secara khusus. Jika hortikultura dimasukkan dalam bidang usaha tanaman pangan lain maka modal asing maksimal adalah 49%, sedangkan pada Perpres No 39/2014 maksimal kepemilikan asing (sesuai UU Hortikultura No 13/2010) adalah 30%.

Tahun 2016, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan investasi dalam bentuk revisi DNI dari Perpres No 39/2014 menjadi Perpres No 44/2016. Investasi dalam bidang usaha tanaman pangan pokok dengan luas lebih dari 25 ha, tidak lagi memerlukan rekomendasi Menteri Pertanian dengan modal asing maksimal tetap sebesar 49%. Rekomendasi Menteri Pertanian juga tidak lagi diperlukan dalam kegiatan investasi di bidang usaha perkebunan  dengan luas lebih dari 25 ha, digantikan dengan kewajiban untuk mengembangkan kebun plasma sebesar 20%, dengan maksimum kepemilikan asing masih tetap 95%.

Penurunan secara drastis aliran investasi ke Indonesia pada periode 2014-2016, baik intra-ASEAN maupun dunia, menjadi alasan pemerintah Indonesia menggulirkan paket kebijakan DNI 44/2016. Sayangnya, wacana untuk melonggarkan batas maksimum kepemilikan modal asing di subsektor hortikultura tidak dapat dilakukan karena UU Hortikultura 13/2010 masih berlaku. Sempat pula berkembang wacana Pemerintah akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) Hortikultura agar tujuan untuk meningkatkan batas maksimum kepemilikan asing dapat dilakukan.

Kalau pembatasan investasi maksima  30 persen ini tetap berlaku, dikuatirkan subsektor hortikultura akan tumbuh sangat lambat, tidak mampu mengimbangi permintaan produk hortikultura yang meningkat cepat, dan akibatnya defisit neraca perdagangan produk hortikultura akan semakin besar.  Sentimen anti asing ini dikuatirkan akan menjadikan Indonesia tidak hanya menjadi pengimpor benih, namun  juga akan menjadi pengimpor produk hortikultura.

Hasil pembatasan investasi ini (UU Hortikultura dan Perpres 39/2014), konon tidak ada perusahaan baru di bidang usaha perbenihan hortikultura. Yang tumbuh dan berkembang hanya perusahaan perbanyakan dan usaha penangkar benih di pedesaan. Makna kemandirian benih adalah kemampuan Indonesia untuk meproduksi benih sendiri tanpa melibatkan PMA, bahkan ada yang lebih sempit lagi yakni kemampuan petani untuk memproduksi benih sendiri. 

Ketentuan Bidang Usaha dan Pemilikan Modal Asing diatur dalam Perpres 36/2010, Perpres 39/2014 dan Perpres 44/2016. Rekomendasi dari Mentan Modal asing maksimal 49% untuk: (1) Usaha perbenihan tanaman pangan lebih dari 25 ha, (2) Usaha budidaya tanaman pangan lebih dari  25 ha, (3) Usaha perbenihan tanaman pangan lainnya lebih dari 25 ha, dan (4) Budidya tanaman pangan lainnya lebih dari 25 ha. Untuk usaha hortikultura mulai perbenihan,  budidaya, industri pengolahan, penelitian,  usaha  wisata agro, serta usaha  jasa hortikultura; modal asing maksimal 30% (sesuai Perpres  39/2014 dan Perpres 44/2016).

Jadi, posisinya adalah: 

Yang pro pembatasan investasi adalah: Kementan,  Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), Field Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), organisasi Binadesa, Sadajiwa dan Sawit Watch.

Yang menolak pembatasan, alias ingin dilonggarkan adalah: Asosiasi Produsen Perbenihan Hortikultura (Hortindo ) bersama petani-petani binaannya, dan BKPM.


*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar