Dalam perjalanannya, keinginan
pemerintah untuk memacu investasi di sektor hortikultura cenderung gagal. Amanat untuk
membatasi investasi dan penguasaan kepemilikan modal asing (PMA) dalam usaha
bidang hortikultura terbaca
pada Pasal 100 ayat (3) dan Pasal 131 ayat (2). Penanaman modal asing dibatasi maksimum
kepemilikan 30 persen di sektor usaha holtikultura, termasuk bidang usaha
perbenihan. Sebenarnya, ketentuan
batas maksimum kepemilikan modal asing ini jauh lebih ‘restriktif’ disbanding
ketentuan yang berlaku pada saat itu, yang tertuang dalam Perpres No 36 tahun
2010.
- Pasal 100 ayat 3: “maksimal modal asing untuk usaha hortikultura adalah 30 persen”
- Pasal 131 ayat 2: “dalam waktu 4 tahun setelah penetapan UU No. 13/2010 atau paling lambat tahun 2014 investor asing yang sudah melakukan penanaman modal dan mendapatkan izin usaha hortikultura wajib mengalihkan atau menjual sahamnya kepada investor domestik sehingga kepemilikannya tinggal maksimal 30 persen”.
Dalam perjalanannya, ketentuan ini telah
mengundang pro-kontra. Persyaratan
kepemilikan modal asing maksimum 30% dan keharusan untuk melakukan divestasi ini pernah
digugat ke MK untuk dilakukan uji materi. Pihak yang merasa dirugikan (Asosiasi perusahaan perbenihan dan petani binaannya) telah mengajukan gugatan ke
Mahkamah Konstitusi (MK) pada 17 Februari 2014, meskipun akhirnya MK memutuskan
menolak gugatan tersebut (19 Maret 2015).
Sebagaimana diamanatkan di dalam UU Hortikultura No 13 Tahun 2010 dan tertuang di dalam Perpres
39/2014,
kepemilikan modal asing (PMA) dibatasi maskimal 30% dan keharusan divestasi
bagi perusahaan PMA yang ada. UU No 13/2013
memicu kontroversi dan pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh beberapa
pihak yang dirugikan yang dimotori oleh Asosiasi Perusahaan Benih Hortikultura
Indonesia (APBHI atau Hortindo). Setelah melewati persidangan panjang, Mahkamah
Konstitusi akhirnya menolak gugatan dan menyatakan UU Hortikultura 13/2010
tetap berlaku.
Aturan turunannya, berupa revisi Perpres DNI No 36/2010 ke
Perpres No 39/2014 tidak mengalami perubahan, kecuali perubahan yang terkait
dengan batas maksimal kepemilikan modal asing di bidang usaha hortikultura.
Kepemilikan asing untuk usaha hortikultura dari yang semula tidak diatur secara
khusus dalam Perpres 36/2010 menjadi
maksimal 30% dalam Perpres 39/2014, sesuai dengan amanat UU Hortikultura. Lalu, dalam Perpres No 36/2010 bidang usaha hortikultura juga tidak diatur secara khusus. Jika hortikultura dimasukkan dalam
bidang usaha tanaman pangan lain maka modal asing maksimal adalah 49%,
sedangkan pada Perpres No 39/2014 maksimal kepemilikan asing (sesuai UU Hortikultura
No 13/2010) adalah 30%.
Tahun 2016, pemerintah mengeluarkan
paket kebijakan investasi dalam bentuk revisi DNI dari Perpres No 39/2014 menjadi
Perpres No 44/2016. Investasi dalam bidang usaha tanaman pangan pokok dengan
luas lebih dari 25 ha, tidak lagi memerlukan rekomendasi Menteri Pertanian
dengan modal asing maksimal tetap sebesar 49%. Rekomendasi Menteri Pertanian
juga tidak lagi diperlukan dalam kegiatan investasi di bidang usaha
perkebunan dengan luas lebih dari 25 ha,
digantikan dengan kewajiban untuk mengembangkan kebun plasma sebesar 20%,
dengan maksimum kepemilikan asing masih tetap 95%.
Penurunan secara drastis aliran investasi ke Indonesia pada periode
2014-2016, baik intra-ASEAN maupun dunia, menjadi alasan pemerintah Indonesia
menggulirkan paket kebijakan DNI 44/2016. Sayangnya, wacana untuk melonggarkan
batas maksimum kepemilikan modal asing di subsektor hortikultura tidak dapat
dilakukan karena UU Hortikultura 13/2010 masih berlaku. Sempat pula berkembang wacana Pemerintah akan
menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) Hortikultura agar tujuan
untuk meningkatkan batas maksimum kepemilikan asing dapat dilakukan.
Kalau pembatasan
investasi maksima 30 persen ini tetap
berlaku, dikuatirkan subsektor hortikultura akan tumbuh sangat lambat, tidak
mampu mengimbangi permintaan produk hortikultura yang meningkat cepat, dan
akibatnya defisit neraca perdagangan produk hortikultura akan semakin
besar. Sentimen “anti
asing” ini dikuatirkan akan menjadikan Indonesia tidak
hanya menjadi pengimpor benih, namun juga akan menjadi pengimpor produk
hortikultura.
Hasil pembatasan investasi ini (UU
Hortikultura dan Perpres 39/2014), konon tidak ada perusahaan baru di
bidang usaha perbenihan hortikultura. Yang tumbuh dan berkembang hanya
perusahaan perbanyakan dan usaha penangkar
benih di pedesaan. Makna “kemandirian
benih” adalah kemampuan Indonesia untuk meproduksi benih sendiri
tanpa melibatkan PMA, bahkan ada yang lebih sempit lagi yakni kemampuan petani
untuk memproduksi benih sendiri.
Ketentuan Bidang Usaha dan Pemilikan Modal Asing diatur dalam Perpres 36/2010,
Perpres 39/2014 dan Perpres 44/2016. Rekomendasi
dari Mentan Modal asing maksimal 49% untuk: (1) Usaha perbenihan tanaman pangan
lebih dari 25 ha, (2) Usaha budidaya tanaman pangan lebih dari 25 ha, (3) Usaha perbenihan tanaman pangan lainnya lebih dari 25 ha, dan (4) Budidya tanaman pangan lainnya
lebih dari 25 ha. Untuk
usaha hortikultura mulai perbenihan, budidaya, industri pengolahan, penelitian, usaha wisata
agro, serta usaha jasa hortikultura; modal asing maksimal 30% (sesuai Perpres 39/2014 dan Perpres 44/2016).
Jadi, posisinya adalah:
Yang
pro pembatasan investasi adalah:
Kementan, Asosiasi
Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI), Aliansi Petani Indonesia (API),
Serikat Petani Indonesia (SPI), Field Indonesia, Koalisi Rakyat untuk
Kedaulatan Pangan (KRKP), organisasi Binadesa, Sadajiwa dan Sawit Watch.
Yang menolak
pembatasan, alias ingin dilonggarkan adalah: Asosiasi Produsen Perbenihan
Hortikultura (Hortindo ) bersama
petani-petani binaannya, dan BKPM.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar