Senin, 23 Maret 2020

Pro kontra “zona based” vs “negara based”


Salah satu bagian yang selalu “panas” dari UU Peternakan ini berkenaan dengan impor daging, apakah dari negara yang bebas PMK secara zonasi ataukah harus keseluruhan negaranya. Ini dikenal dengan istilah “zona based” versus “negara based”.

Permasalahan zona atau negara telah muncul bahkan semenjak pembahasan rancangan undang-undang sebelum tahun 2009. Bagi penggugat, beleid "berbasis zona" ini berprinsip keamanan yang minim, mengancam kesehatan ternak, memperluas impor, menekan peternak lokal, dan tak bebas dari penyakit menular hewan.

UU 18 Tahun 2009 menganut pendekatan "berbasis zona atau negara", yang tertuang dalam pasal 59 ayat 2. Lewat uji materi komunitas peternakan, MK mengabulkan gugatan mereka dan isi pasal itu berubah menjadi "berasal dari suatu negara" (berbasis negara). Namun pendekatan "berbasis zona" masuk lagi dalam Undang-Undang Peternakan baru. Lah, bukankah putusan MK mestinya bersifat final dan mengikat?

Jika UU awal memiliki "berbasis zona atau negara", kenapa di UU kedua menjadi pendekatan "berbasis zona" saja? UU awal lebih ketat, karena sadar Indonesia belum memiliki sarana dan prasarana mitigasi bila terjadi wabah penyakit hewan menular, terutama penyakit mulut dan kuku (PMK).

Secara ringkas, kejadiannya adalah sbb.:
  • Tahun 2009 lahir UU No 18 tahun 2009, dimana impor hewan segar harus “berbasis zona atau negara”. Pasal 59 ayat 2 berbunyi: Produk hewan segar yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan
  • Tahun 2009 dilakukan uji materi UU No 18 - 2009 di MK. Obyek gugatan adalah Pasal 59,  agar dari zona based menjadi negara based saja. Sistem zona dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
  • Tahun 2010, MK menyetujuinya sesuai Putusan MK Nomor 137/PUU-VII/2009. Uji materi dikabulkan, menjadi berbasis negara. Artinya, lebih ketat.
  • Namun pada 2014, atas inisiatif  DPR, lahir UU baru yakni 41 Tahun 2014. UU ini disusun untuk menggolkan berbasis zona. Disini ketentuan impor menjadi lebih longgar kembali.  Konon ini disulut oleh hubungan panas-dingin Indonesia-Australia pada 2011-2013, termasuk ancaman penghentian ekspor sapi Australia ke Indonesia.
  • Pasal 36C (1) berbunyi “Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara atau zona …. “. Ayat (3) Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal dari zona …. harus terlebih dahulu:… dst “
  • Pasal 36E (1) Dalam hal tertentu, dengan tetap memerhatikan kepentingan nasional, dapat dilakukan pemasukan dari suatu negara atau zona dalam suatu negara  ….”.
  • Lalu, kembali diajukan gugatan pada Oktober 2015 oleh berbagai pihak.
  • Terakhir pada Feb 2017, MK mengabulkan gugatan Pasal 36E ayat 1. Dengan ini, Indonesia hanya diperbolehkan mengimpor daging dan ternak jika dalam keadaan mendesak. Artinya MK mendukung standar maksimum security bagi importasi hewan dan ternak yang mausk ke Indonesia.



****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar